Kelas siang begitu melelahkan. Berlomba dengan sinar matahari yang menyengat. Udara panas ibu kota. Ditambah lagi, sesampainya di kampus, Dosen membatalkan kelas begitu saja. Aiza lunglai di mejanya dengan Acila nampak tak bersemangat di sampingnya.
"Ai,Aiza dipanggil Vian tuh," teriak Sena di ujung pintu.
"Ciee"
"Ati ati CLBK"
"balikkan ya?"
Begitu kira kira godaan yang di lontarkan taman-temannya. Apalagi rahasia umum semasa di SMA yang entah bagaimana bisa terbawa ke kampusnya.
Aiza menarik Acila untuk menemaninya menemui Vian. Tak baik jika seorang perempuan berdua dengan laki laki yang bukan mahrom.
"Ngapain?" Tanya Aiza to the poin. Menghampiri Vian yang bersandar di pembatasan koridor.
"Hasna ilang," jawabnya.
"HEH SERIUS?" Pekik Acila.
"Maksud Lo? Ngomong yang bener," ucap Aiza mulai panik.
"Kemungkinan sih diculik," jelasnya.
"Assalamualaikum," pamit Vian. Meninggalkan kedua perempuan yang masih tercengang. Lantaran ia harus menemui seseorang.
"Jujur sama gue," ucap Vian. Menghadang Vina yang hendak keluar kelas.
Vina yang hendak keluar dari kelas terkejut. Ia tak bisa lari lagi. Vian menghadangnya di pintu. Bahkan dengan sengaja Vian bersandar di sisi kiri pintu dan meletakkan tangannya di sisi kanan pintu.
"Lo ada sangkut pautnya kan sama penculikan Hasna?"
Vina menarik nafas dalam-dalam supaya tidak gugup menjawab pertanyaan Vian.
"E-engak G-ue ga tau apa apa,"tutur Vina mencoba acuh.
"Lo gak mau ngaku?" Tanya Vian. Menyunggingkan senyum miringnya. Ia semakin curiga dengan lawan bicaranya yang kini sangat terlihat menyembunyikan sesuatu dari dirinya.
"Gue tunggu kejujuran Lo," lanjutnya. Meninggalkan Vina yang masih mematung di tempat.
"Umma, Bunda yang sabar ya," ucap Aiza. Yang kini duduk di ruang keluarga bersama Umma Hasna dan Bunda Hizam serta Meila. Wajah Umma dan Bunda yang tak lagi muda nampak ketara begitu paniknya Hasna pergi entah kemana.
"Acila yakin. Hasna pasti cepat ketemu dan kumpul lagi sama kita," sahurnya Acila meskipun benaknya memiliki tanda tanya besar 'apakah Hasna akan pulang?'
"Aamiin," jawab Bunda.
"Assalamualaikum,"salam Hizam. Mencium telapak tangan Bunda-nya dan Umma Hasna.
Kondisinya benar benar kacau. Lingkaran hitam begitu ketara di bawah matanya. Nampak sekali lelah terpancar dari wajahnya. Dari semalam ia memang tidak pulang dan tidak tidur hanya untuk mencari keberadaan istrinya meskipun nihil hasil yang ia dapatkan.
"Waalaikumsalam,"
"Ayo makan dulu nak,"ucap Bunda merangkul tangan Hizam berniat mengajak anaknya itu ke meja makan.
Hizam mematung dan menggelengkan kepalanya singkat.
"Bunda, Hizam gagal jadi suami,"ucap Hizam. menundukkan kepalanya. Nada suaranya terdengar sangat pilu. Dengan air mata yang menetes dari mata kirinya.
Sebesar apapun Hizam tetap saja di mata Bunda ia hanyalah anak laki laki yang sangat patuh dan tidak pernah menyakiti hatinya. Dan Kini ia melihat anaknya yang begitu sedih kehilangan istrinya membuatnya iba.
Bunda menggelengkan kepalanya singkat. Ia menyentuh pipi kiri Hizam dengan tangan kanannya. Ibu jarinya yang menghapus butiran air yang turun dari biji bola mata. Dan membawa tubuh anaknya ke pelukannya walaupun tubuh anaknya tak bisa semuanya di dekap tetap saja ia mencoba menyalurkan semangat.
"Kamu nggak gagal nak,"ujar Umma. Mendekat dan mengelus bahu menantunya itu.
"Kemarin,Umma nelpon Hasna. Hasna cerita ke Umma kalau dia begitu bahagia menjalani peran barunya dengan kamu,"
"Terimakasih ya nak. Mau menjadi perantara untuk Hasna bahagia," lanjutnya.
Sungguh hanya Allah lah yang bisa memberikan kebahagiaan dan tidak ada bahagia abadi di dunia. Semuanya fana, yang abadi nanti di surga.
"Istirahat ya nak. Kasihan tubuhmu," suruh Umma.
"Bener kata Umma,Istirahat ya, nanti bunda antarkan makanan ke kamar mu,"ujar Bunda.
"Maaf Bun. Hizam harus cari Hasna lagi," ucapnya.
"Bang, dengarin kata Bunda,"Meila angkat bicara. Abangnya satunya itu sungguh keras kepala.
"Bagaimana Abang bisa istirahat Mei? sedangkan Abang belum tau keadaan istri Abang,"tanyanya tak terbantahkan.
Meila bungkam tak bisa menjawab perkataan abangnya. Dalam hati ia bersaksi bahwa cinta abangnya kepada kakak iparnya tidak main-main.
"Tapi Hasna bakal sedih Zam. Lihat Lo kaya gini," tutur bang Hamzah yang baru saja datang dengan bang Hamdan dan Ayah Ahsan. Mereka baru saja membuat laporan kehilangan setelah 24 jam berlalu.
"Jangan keras kepala Zam. Istirahat sana," titah Ayah.
"Zam,"tegur bang Hamdan melihat adik iparnya itu masih enggan berjalan menuju kamarnya.
Hizam menganggukkan kepalanya. Ia memutuskan untuk menuruti omongan semua orang. Meskipun hatinya tak karuan. Ia yakin jika Allah sudah mentakdirkan ia dan Hasna bersama. Pasti istrinya akan kembali ke pelukannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa Takut Nikah Muda
EspiritualCerita ini bukan tentang perjodohan. Bukan juga tentang nikah muda karena sebuah insiden. Tapi ini tentang cerita anak SMA yang berani mengutarakan cintanya dengan akad nikah di usia muda mereka. "Mau hidup bersama meraih jannah-Nya?" "Bismillah Has...