cafe:-berkunjung

769 141 9
                                    

jeno memerkirkan motornya di bawah pohon yang berada di dekat pemakaman dimana kedua orang tuanya tengah beristirahat untuk selamanya. Mengabaikan hal hal yang menjadi momok menakutkan di area pemakaman, jeno melangkah mendekat dengan membawa bunga yang ia bawa di kantung plastik.

jeno membersihkan tiga area makam yang berjejer bersampingan agar terhindar dari rumput-rumput liar sebelum ia menebarkan bunga berwarna warni yang tadi ia ambil dari toko karina, bunga yang hampir layu ia bawa kesini daripada terbuang sia sia disana.

Memejamkan matanya, jeno mulai memanjatkan doa disana. Hari ini, hari jumat sore sudah mulai mendung padahal jam baru menunjukkan pukul empat tapi ternyata awan hitam sudah ada di langit. Musim hujan sepertinya sebentar lagi akan tiba.

Jeno terdiam sejenak setelah doa berhasil dipanjatkan. Tia makam berwarna putih dengan keramik yang membingkai serta ukiran nama berwarna emas tepat berada di depan jeno, tangannya mengusap satu per satu makam yang ada di hadapannya. "mama, papa, tante, jeno datang" ujarnya sebelum menundukkan kepalanya. 

Cukup lama dia menunduk, kepalanya kemudian terangkat. "maaf ya, jeno ngga bisa datang sama Karina. Karina masih belum mau bangun, ah ngomong ngomong soal Karina, cucu mama sama papa udah lahir. Perempuan, cantik, kaya karina , tapi belum bisa dibawa keluar dari rumah sakit" jeno perlahan merasakan hujan sudah turun, perlahan bunyi rintikan hujan dengan angin sesekali petir terdengar tapi jeno, dengan seragam sekolah nya, masih duduk di tepi nisan mama nya. Membiarkan kepalanya tertunduk dengan hujan yang jatuh ke wajahnya.

"papa, maaf. Maafin jeno karena ngga bisa ngabulin keinginan papa buat jadi dokter. Maafin jeno, untuk sekarang jeno belum mampu, pa. Tapi kalau Karina tetap ingin, jeno bisa bekerja lebih keras nanti biar adek bisa jadi dokter" jeno bahkan tidak menyadari kalau dia membiarkan air matanya turun bersamaan dengan air hujan. Seragamnya tentu saja sudah basah tapi dia masih tidak beranjak dari tempat duduknya.

"papa.... jeno cape. Jeno kewalahan" badannya bergetar keras begitu ia mengeluhkan rasa yang selama ini ia ia rasakan. Bagaimana ia merasa semuanya berputar terlalu cepat, dia bangun dari koma setelah tiga tahun-fakta mama nya meninggal ketika ia koma-kematian papa dan mama tirinya-jeno menjadi kepala keluarga-karina hamil hingga sekarang, mimpinya yang ia ingin inginkan sedari dulu, padam seolah api yang disiram air dingin.

Kalau dibilang jeno menyesal, tidak. Jeno tidak menyesal menguras tabungan untuk kuliahnya demi Adiknya, tidak. Jeno tidak menyesal. Tapi dia tetap hanya remaja berusia tujuh belas tahun yang masih memiliki mimpi. Dia masih ingin bermimpi suatu saat nanti dia ada di barisan depan untuk menolong mereka yang membutuhkan.

Dia tetaplah seorang remaja yang ingin terbang tanpa beban.

Badannya bergetar saat kepalanya tertunduk. kencang. air mata yang selama ini ia tahan, turun bersamaaan dengan derasnya hujan yang ikut menemani. Jeno kesulitan melangkah. dia tidak tahu harus apa. Kepalanya ingin pecah. suara di kepalanya mengatakan kalau ia harus menyerah, tapi suara lainnya mengatakan kalau dia harus tetap berdiri tegak.

Jeno mendongak saat ia tidak merasakan rintik hujan mengenai tubuhnya padahal hujan sedang deras derasnya. Disampingnya, seorang remaja dengam seragam yang sama dengan dirinya, berdiri memakai payung lebar berwarna hitam menatap nya datar.

Yeji, wanita yang entah dari mana datangnya kemudian berjongkok, menyamakan tubuhnya dengan jeno, menariknya ke dalam pelukan.

"jangan ditahan" bisiknya di telinga jeno membuat jeno air matanya mengalir begitu deras dan kencang.  kali ini ini tidak sendiri, ada seseorang yang secara sukarela meminjamkan pelukannya menjadi tempat ternyaman yang belum pernah jeno punya.

Cafe : The Last mission Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang