"selamat ya jen, masih sanggup buat tingkat nasional?" jeno yang sedang menutup buku paket fisika nya hanya tersenyum saat pembimbingnya meledek. "doain ya, pak. semoga saya masih sanggup"
Benar, jeno kemarin memenangkan juara satu olimpiade sains nasional bidang Fisika tingkat kabupaten dan akan melaju naik hingga tingkat nasional akhir bulan nanti.
"langsung pulang jen?" jeno menggelengkan kepalanya. "engga, pak. Kebetulan saya ada kerja lagi setelah ini" jawab jeno sambil menggendong tas nya. Pria paruh baya itu berjalan mendahului jeno kemudian keduanya berjalan berdampingan.
"kamu hebat loh. Bapak aja ngga nyangka kalau kamu nyampe nasional padahal kamu jarang ikut bimbingan. kamu juga kerja dan denger denger kamu juga buka tutor buat temen temen kamu ya? hebat loh. Nilai mu bahkan ngga ada yang nyentuh 95 semester ini" jeno hanya tersenyum sebagai balasan.
Jeno memang jarang sekali ikut bimbingan jika bimbingan diadakan di hari sekolah karena tentu saja akan bertabrakan dengan jadwal nya mengajar, kumpul organisasi, ekstrakulikuler, hingga bekerja di cafe. apalagi ketika kemarin Karina melahirkan, ia hanya belajar dengan mencuri curi waktu dan hasilnya luar biasa memuaskan
yeonjun aja bingung, kok ada manusia kaya jeno. Bisa dikerjakan semuanya tanpa keteteran.
"mau lanjut dimana jen?" jeno lagi lagi hanya tersenyum tipis. "belum tau pak. Saya masih ragu mau lanjut kuliah apa engga soalnya saya udah ngga punya orang tua dan saya harus bantu adik adik saya" jeno tentu saja tidak menyebutkan adik ipar karena bisa bahaya jika ada yang tahu yeonjun menjadi seorang ayah, bisa dikeluarkan dari sekolah oleh teman temannya.
pembimbing nya menganggukan kepalanya. "sangat disayangkan ya kalau kamu ngga lanjut kuliah" Jeno lagi lagi hanya menganggukan kepalanya. "kalau ada rezeki nya, saya yakin akan terjadi. tapi untuk sekarang, saya belum kepikiran untuk lanjut kuliah. Saya ingin memperbanyak kemampuan saya siapa tau di tahun tahun depan akan berguna nantinya" jeno berujar
lagi lagi pembimbingnya kagum dengan pola pikir jeno yang tidak seperti anak seusianya. Dimana anak seumuran jeno biasanya sedang asik asik nya nakal, bermain bersama teman temannya dan berkencan dengan lawan jenis. Tidak seperti jeno yang memilih fokus bekerja dan ngambis nilai walau tahu nanti dia tidak bisa lanjut kuliah.
"saya duluan, ya, pak. Mau lanjut kerja lagi soalnya" pamit jeno sambil menarik motor nya dari barisan motor yang hanya tersisa beberapa ini.
Jeno kemudian menjalankan motor matic nya ke cafe dimana dia harus bekerja. Dengan kecepatan yang sedang, ia menjalankan motornya sesekali melihat sekeliling.
"kok masih ada disini, sih?" jeno bergumam saat ia melihat giselle naik bus sekolah. Seharusnya giselle tidak lagi ada di sini karena tubuhnya sudah di temukan. Ada yang salah disini. seharusnya giselle tidak lagi di sini. Giselle sudah berproses harusnya.
"AHHH" jeno spontan mengerem mendadak saat ia sedang fokus melihat giselle, seorang anak lewat dengan balon di tanganny. Beberapa warga yang melihat itu langsung mendekat, lagi dan lagi sepertinya ini hari sial jeno. Karena mengerem mendadak, ia terjatuh menabrak trotoar dan mencium aspal.
ia sebenarnya ingin berteriak dalam hati. "GUE BARU KELUAR DARI RUMAH SAKIT LOH KEMARIN???? INI GUE JATUH LAGI??" tapi ia tahan.
"mas ngga papa? maafin anak saya ya yang nyebrang sesuka hati" jeno yang sedang dibantu duduk oleh salah satu warga hanya meringis saat ibu dari anak yang sedang menunduk.
"saya ngga papa. Adek ada yang sakit? Mana bilang ke kakak" jeno malah bertanya kepada anak kecil yang sedang menundukkan kepalanya, tentu saja ia ketakutan karena ia tadi menyeberang begitu saja. Anak itu menggelengkan kepalanya kemudian menunjuk jeno yang sudah berdarah karena bertemu dengan aspal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cafe : The Last mission
FanfictionSabiru Jeno Mahaprana terbangun setelah tiga tahun dari tidur panjangnya yang begitu lelap dengan fakta bahwa sang ibu, ternyata sudah meninggalkan dirinya untuk selamanya saat ia tertidur. Tak hanya itu, Jeno juga terbangun dengan sebuah kemampuan...