Bab 12 : Bantuan?

1.8K 141 1
                                        

***
Tak selamanya sebuah kerja keras membuahkan hasil.

*
*
*

Amira mengepalkan kedua tangannya saat melihat Arga menggendong Saci, selain kesal karena perlakuan Arga ke Saci, ia juga kesal karena Saci dan Letta kembali dengan selamat.

Ya, mereka kini sudah sampai di tempat kemah. Beberapa siswa-siswi menghentikan sejenak aktivitasnya saat siswi yang hilang kini sudah ketemu dengan keadaan baik-baik saja.

Arga menurunkan Saci dari gendongannya karena gadis itu yang meminta. Seseorang berlari dari arah tendanya sambil menangis, ia memeluk Saci erat. "Maafin gue, Ci," ucap Ana menangis dalam pelukan Saci.

Saci menggeleng pelan, ia tersenyum simpul. "Nggak papa, ini bukan salah lo kok, gue aja yang ceroboh sampe bisa nyasar," tuturnya menenangkan Ana, ia cengengesan agar Ana tak semakin merasa bersalah, kemudian melepaskan pelukannya.

"Alah, dasar caper! Paling cuman mau cari sensasi doang," celetuk Amira tidak suka.

Nayla menyatukan alisnya, ia menoleh pada Amira yang bersedekap memandangi Saci tak suka. Ingatannya berputar pada saat Saci dibully dengan melempari Saci menggunakan bola basket.

Nayla tersenyum miring, ia maju beberapa langkah hingga berhadapan dengan Amira. "Nggak ada bola basket, kalau pake batu bisalah, ya," ujarnya santai sambil melirik batu di samping kaki Amira.

Amira membeku, ia tak bisa mengeluarkan emosinya saat atlet ini melindungi Saci. Gadis itu beranjak pergi dari hadapan Nayla sebelum batu itu benar-benar melayang di kepalanya, meskipun ia tahu bahwa ini hanya ancaman Nayla.

Disisi lain, tepatnya di tempat yang jauh dari kerumunan, Kakak beradik sedang adu pandang. Letta bersedekap dada, matanya menghunus tajam menuntut jawaban dari Kakaknya itu. "So?"

Vano yang ditatap ngeri oleh adiknya itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dalam hati ia mengumpat akan kecerobohannya, ia juga merasa aneh dengan dirinya sendiri. Kenapa saat di tatap tajam oleh Letta nyalinya seperti krupuk disiram air begini? Sedangkan saat ditatap tajam Anya, dia malah tidak begitu takut.

Vano nyengir menampilkan deretan giginya. "Jadi gini ... ini semua salah lo, lagian lo pake acara ngilang segala sih. Lo mau bikin gue mati muda gara-gara jantungan? Kalo gue mati, lo nggak punya Abang lagi dong. Hidup lo bakal sepi tan—"

"Vano!" seru Letta, nadanya naik satu oktaf. Benar-benar Abangnya ini, di tanya apa jawabnya apa. "Lo naksir sama dia?" tanyanya to the point.

Vano mengelus dagunya tampak berpikir. "Emang iya gue suka sama dia?"

"Kok, lo malah nanya balik sih?"

Vano mengedarkan pandangannya hingga berhenti di suatu objek, ditatapnya lekat objek itu hingga sadar tak sadar ia tersenyum simpul. "Kayaknya iya, gue ... suka sama dia," ungkapnya mantap.

"Pfftt, lo yakin suka sama dia? Okey, gue mau liat, seberani apa lo mau deket sama cewek dingin kayak dia," seloroh Letta kemudian berjalan menjauh dari Vano sebelum ada yang melihat mereka. Baru beberapa langkah, Letta membalikkan badannya tersenyum penuh arti. "Satu lagi, lo masih harus dapet restu dari gue, Abang Vano." Letta mengedipkan satu matanya, kemudian ia melanjutkan langkah.

Vano menghembuskan napas panjang. "Iya juga, ya."

Anya berjalan ke arah Saci saat urusannya telah selesai, sebelumnya ia sempat di tanya-tanya oleh Pak Bandi alasan mereka bisa hilang. Anya sendiri menjawab seadanya, ia menjelaskan mulai dari dia yang berniat mencari Saci dan berakhir ketemu dua gadis lain yang ternyata juga ikut mencari Saci.

4 Girls [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang