Bab 19 : Tujuan Anya

1.4K 124 1
                                    

***
Pahitnya kenyataan lebih baik daripada pahitnya kebohongan.

*
*
*

Eja, Aji, dan Didit berjalan bersama, hari ini ia kan menjalankan tugas untuk mengawasi gerak-gerik Letta. Sesuai rencana, mereka akan mengawasi kelas Letta terlebih dahulu, menunggu cewek tomboy itu keluar kelas.

Bukan hal sulit untuk mengetahui letak kelas Letta karena cewek itu cukup terkenal di sekolah ini. Terkenal minus maksudnya.

"Makan mentega dicampur jus pepaya, kita harus selalu waspada." Eja berpantun sambil berjalan.

"Sejak kapan lo suka mantun? Mana pantun nya nggak mutu lagi," cibir Aji.

"Ya kan kita anak bahasa, iri aja lo," sahut Didit mendapatkan delikan dari Aji.

"Sori lah ya. Anak IPA ni bos senggol dong! Cuaks!"

"Halah! Numpang populer aja bangga," tandas Eja menyindir Aji.

Mereka masih terus berjalan hingga tak sengaja berpas-pasan dengan salah satu teman Letta– Ryan. Eja yang pada dasarnya menyebalkan itu menghentikan langkah Ryan.

"Weeshh, mau kemana bro? Buru-buru amat?"

Ryan menatap ke tiga orang itu dengan tatapan biasa. "Mau ke kantin, kan udah istirahat."

Ke tiga cowok itu mengerutkan alisnya bersamaan. Mereka bingung dengan sikap Ryan ini. Biasanya cowok di depan mereka ini paling suka emosi jika berhadapan dengan inti Grozi.

"Heh! Lo nggak takut sama kita?!" sungut Eja lagi.

Ryan menaikkan sebelah alisnya, ia terkekeh. "Takut? Ini sekolahan. Nggak ada geng motor di sini."

Ryan berjalan meninggalkan ke tiga cowok yang sedang kebingungan itu. Sebelum benar-benar melewati mereka, Ryan sempat berhenti di samping Didit. Ia membisikkan sesuatu pada cowok itu namun suaranya masih bisa di dengar Aji, dan Eja.

"Di sini gue nggak ada masalah sama lo, tapi di jalanan. Lo semua musuh bebuyutan Vilan." Ryan menekankan kata-katanya, ia menepuk bahu Didit dua kali sebelum benar-benar pergi dari ke tiga cowok itu.

Arah pandang ke tiga cowok itu mengikuti punggung Ryan. Mereka semakin bingung campur terkejut saat Ryan berpas-pasan dengan Letta tapi keduanya sama sekali tak bertegur sapa. Mereka terlihat seperti orang yang tak saling mengenal.

"Perasaan gue doang atau emang ada yang aneh," gumam Aji mengelus dagunya dengan jari telunjuk dan ibu jari.

Eja dan Didit bertukar pandang, mereka berdua sama-sama mengendikan bahunya tak tau.

"Sorry, gue telat. Abis dari toilet tadi." Letta mendudukkan dirinya di samping Nayla. Membuka minuman soda ber kaleng merah di tangannya lalu meneguknya sekilas.

"Hai, maaf lama. Tadi ngantri dulu," ujar Saci yang baru datang dengan nampan berisi makanannya siang ini.

Saci mendudukkan dirinya di samping Anya. Ia menyeruput jus Alpukat, lalu memakan sushi nya dengan anteng. Merasa diperhatikan, Saci menatap teman-teman nya bingung.

"Pelipis lo kenapa? Kok biru gitu?" tanya Letta mengintrogasi Saci.

Saci jadi gugup sendiri. "O-ou, ini. Kepentok meja, tadi pagi gue lagi nyari pulpen. Eh nggak sengaja kepentok, hehe," jawabnya diakhiri cengiran khasnya.

4 Girls [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang