Bab 31 : Sepupu Letta

1.1K 99 2
                                    

***
Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

*
*
*

Pagi menjelang, Letta baru saja memarkirkan motornya di parkiran sekolah. Beruntung, kecelakaan semalam tidak membuat motor nya rusak parah. Dirinya meringis ngilu saat membuka helm full face nya. Bekas tamparan dari Papa nya semalam masih ada. Mengamati wajahnya lewat kaca spion, Letta mengeratkan rahangnya.

Tidak mungkin ia masuk kelas dengan keadaan begini. Luka di tangan dan siku nya juga belum mengering. Beruntung kakinya sudah cukup sembuh. Letta tersentak saat seorang adik kelas menyodorkan kotak P3K pada nya. "Buat, Kakak."

"Dari siapa?"

Adik kelas nya itu mengendikan bahunya. "Nggak tau, Kak. Tiba-tiba ada yang nyuruh ngasih ini ke Kakak."

Letta mengangguk, ia menerima kotak itu dan mengucapkan terimakasih. Setelah siswi itu pergi, Letta turun dari motor dan berjalan ke arah taman dekat parkiran. Ia mulai mengobati, luka nya. Dia terperanjat saat kapas nya di rebut seseorang. "Woy! Anj–"

Letta tak meneruskan umpatan nya kala tatapan tajam menghunus nya. "Eh, Nya. Ngapain lo?"

Anya tak menjawab pertanyaan Letta, gadis itu malah sibuk mengobati luka temannya yang cukup parah. Sesekali Letta meringis.

"Ya Allah, Letta. Muka lo kenapa?!" seru Nayla heboh. Gadis itu datang menghampiri bersama Saci.

"Ya ampun! Lo di keroyok? Siapa? Siapa yang berani ngeroyok lo? Bilang sama gue, biar Nayla hajar tu orang," cerocos Saci yang kini berada di samping Nayla.

Nayla mendelik. "Lah, kok gue?"

Saci nyengir. "Hehe, ya kan ilmu beladiri lo lebih jago daripada gue. Kalo gue yang ngehajar, gue yang babak belur."

Anya selesai mengobati, ia merapikan peralatan di kotak P3K. "Jadi?"

Letta menghela nafas, ia memandangi wajah teman-teman nya yang menunggu jawaban. "Biasa, tu lampir nge fitnah gue. Katanya gue yang nyuruh tu bocah buat ngebully Saci. Dan yeah, Papa ngamuk."

Anya, Nayla dan Saci bertukar pandang. Merasa kasihan dengan temannya yang selalu mendapatkan kekerasan dari ayahnya itu. Anya berdehem sejenak. "Let, lo beneran nggak mau lapor ke KPAI?" tanyanya hati-hati.

Letta menoleh lalu menggelengkan kepalanya. "Nggak, mau gimanapun dia bokap gue, Nya. Sebenernya, Papa itu baik. Cuma, ya, gara-gara para nenek lampir di rumah aja dia jadi begitu."

Nayla meringis. "Shh, gue penasaran sama nyokap tiri lo itu. Kayak nya dia tipe-tipe manusia yang minta di hajar deh!"

Saci mencubit lengan Nayla hingga sang empu mengaduh. "Nggak boleh, dosa tau. Nanti kena karma!"

Letta terkekeh. "Iya tuh, Nay. Muka tu lampir emang minta di gampar."

Saci memutar bola mata malasnya, dia mendudukkan diri di samping Letta. "Let, gue minta maaf, ya. Mau gimanapun, ini ada sangkut pautnya sama kejadian kemarin."

"Weh! Iya anjim." Letta tiba-tiba bersemangat. "Lo, keren banget gila!"

Saci mengerjabkan matanya. "Keren karena mukulin orang?" tanyanya polos.

"Pfftt, wah! Parah lo, Let. Mukulin anak orang lu bilang keren? Berdosa sekali wahai kau anak muda," cetus Nayla setengah tertawa.

"Ya, 'kan itu namanya perlawanan. Ya, gak, Nya?" tanya Letta mencari pembelaan.

Anya mengangguk membenarkan. "Iya, gue juga salut sama tindakan lo kemarin."

"Tapi, kemarin lo hampir gila. Masak sampe ngangkat kursi segala," imbuh Nayla.

4 Girls [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang