Bab 65 : Amnesia

1.1K 100 3
                                    

***
Pada akhirnya, semua akan berada pada tempatnya.

*
*
*

Waktu terus berjalan maju, tak terasa semua sudah ada pada tempatnya. Nek Ria, Saci, dan Vano masih terbaring di brankar rumah sakit. Ibu dan yang lain hanya mendapatkan luka ringan jadi tak perlu di rawat. Keadaan Nek Ria dan Vano cukup parah karena sempat kehilangan banyak darah.

Angga kini sudah di adili dengan seadil-adilnya. Pria itu di vonis hukuman penjara seumur hidup akibat perbuatannya di masa lalu. Melakukan pembunuhan secara sengaja juga melakukan pembunuhan secara berencana.

Selama tiga hari ini, semua tampak suram. Letta dan Nayla selalu murung. Tak jarang mereka juga selalu menyendiri. Bahkan, terakhir kali Anya bertemu keduanya pun saat di pengadilan.

Selama tiga hari ini dia cukup sibuk dengan sidang, alhasil dia sama sekali belum menjenguk temannya di rumah sakit.

Kini, gadis itu mengunjungi tempat peristirahatan terakhir Ayahnya. Melepas rindu.

"Ayah, Anya dateng." Jemari Anya menaburkan bunga mawar merah yang tadi ia beli. Ia melirik ke arah Ibu sekilas. "Kali ini sama Ibu. Bawa kabar baik juga."

Anya tersenyum tipis, senyum yang amat di paksakan karena perasaannya ingin menangis. Genangan air tercipta di kedua bola mata, perasaan sesak yang menghampiri membuat gadis itu mau tak mau menumpahkan tangisnya.

Air mata si juara umun jatuh setelah sekian lama. Setelah terakhir kali menangisi seorang pemuda yang melindunginya.

"Anya udah dapetin keadilan yang Ayah maksud. Anya hebat 'kan?" Suara Anya tercekat di tenggorokan. Sementara elusan sang Ibu pada bahunya membuatnya semakin menangis sendu.

"Tapi maaf, Yah ... Anya malah jadi anak cengeng sekarang." Gadis itu mengambil nafas di tengah sesaknya dada.

Sifa menarik Anya ke dalam pelukan. Mengelus punggung putrinya. "Sstt ... sudah, Nak. Sudah," tutur Sifa halus. Dia mengurai pelukan dan menghapus air mata Anya.

Wanita itu beralih pada makan mendiang suaminya. "Mas, anakmu ini tumbuh jadi gadis yang cantik dan hebat. Sekarang Mas bisa beristirahat dengan tenang. Anya juga sudah ikhlasin Ayah, kan?"

Anya mengangguk, sekarang beban di hatinya sudah hilang sepenuhnya. Perasaan lega yang hampir selama ini tak pernah ia rasakan kini di rasakan. Anya sudah mendapatkan keadilan untuk Ayahnya.

****

Alat bernama elektrokardiogram menjadi satu-satunya sumber bunyi di ruangan serba putih itu. Di dalamnya seorang wanita tua terbaring tak sadarkan diri selama tiga hari berturut-turut.

Seorang gadis berikat satu tengah terduduk di kursi samping brankar sembari menggenggam tangan keriput itu. Tangan yang selalu mengobati lukanya, tangan yang selalu mencubit lengannya untuk menegur.

Tangan yang selalu menyuapinya nasi saat ia masih kecil. Lagi-lagi Nayla terisak kala bayangan itu terlintas di benaknya bagai kaset rusak.

"Nek, bangun. Nayla pengen cerita," ujarnya lirih. Dadanya terasa sesak melihat kondisi wanita yang ia sayangi. Kali ini Nayla tidak mencoba tegar, kali ini Nayla menangis.

4 Girls [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang