Bab 8 : Puncak

1.6K 132 3
                                    

***
Selalu ada alasan di balik sebuah dendam

*
*
*

Dua hari lagi berangkat camping. Itu artinya masih ada waktu untuk mempersiapkan segala kebutuhan yang diperlukan. Malam ini Saci masih dilanda dilema. Puncak? Atau pantai? Arrgh stres. Bagaimana ini, besok sudah harus memberi keputusan.

Saci memandangi langit-langit kamar, memikirkan matang-matang. "Puncak?" gumamnya pelan. Ia jadi teringat pilihan teman-temannya.

Gadis itu mendudukkan tubuhnya. Mematri langkah keluar kamar. Berlari kecil menuruni satu persatu anak tangga. "Mami, Papi, Saci mau ke puncak!" teriak Saci menggema.

Rosa–Mami Saci menghampiri putri tirinya. "Kenapa teriak-teriak, Nak?" tanya Rosa lembut.

"Mi, Saci mau minta izin ke puncak. Acara sekolah kok, boleh yaa?" izin Saci memohon sembari menyatukan kedua telapak tangannya.

Rosa tersenyum, ia mengangguk pelan. "Boleh, tapi harus jaga diri baik-baik, ya. Kapan perginya?"

"Dua hari lagi, Mi," seru Saci antusias. Kalau soal jalan-jalan, Saci emang yang paling semangat.

Dulu saat ia berlibur ke luar negeri, dia adalah orang yang paling bersemangat. Gadis itu juga paling teliti dengan barang-barangnya. Semua kebutuhannya benar-benar tertata rapi dalam koper.

"Udah siapin kebutuhannya?" tanya Rosa seraya mengelus rambut Saci, pandangannya tak luput dari binar bahagia putrinya.

Saci menggelengkan kepala. "Belum, Mi. Ini baru mau pergi belanja."

"Uangnya, ada?"

Saci mengangguk cepat. "Ada, kok, Mi. Yaudah kalo gitu Saci siap-siap dulu," ujar Saci, lalu ia segera berlari ke kamarnya.

Gadis itu secepat kilat mengganti baju, tak lama kemudian pintu terbuka. Saci sudah siap dengan sweater oversize yang berwarna hijau muda dan celana levis berwarna putih, yang di bagian lutut sedikit sobek. Bagian depan sweater ia masukkan ke dalam celana hingga menyisakan bagian belakang. Tak lupa sneaker dan tas cangklong berwarna putih sebagai pelengkap.

Saci menghampiri Nayla sebelum pergi ke mall. Ia sudah memberi kabar pada gadis itu sebelum pergi ke rumahnya. Untung tadi siang saat menanyai pilihan, ia sempat meminta nomor ponsel Nayla. Cukup lama perjalanan akhirnya mobil berhenti di depan rumah sederhana yang terasa tenang.

Saci turun dari mobil, ia berjalan menuju pintu rumah dan mengetuk beberapa kali sambil mengucapkan salam.

"Assalamualaikum, Nay. Ini Saci," seru Saci. Tak lama kemudian, pintu terbuka, tapi bukan Nayla yang membuka pintu. Melainkan Nek Ria.

"Waalaikumsalam," jawab Nek Ria, "ini siapa? Temennya Nayla ya?" tanyanya saat melihat gadis yang seumuran dengan cucunya.

Saci mencium tangan Nek Ria, ia tersenyum riang seperti biasanya. "Iya, Nek. Oh iya, nama saya, Saci. Nayla-nya ada? Saci mau minta izin ajak Nayla pergi, Nek. Nggak lama kok, cuman pergi beli peralatan buat camping," oceh Saci panjang lebar meminta izin pada Nenek Nayla.

Tak lama kemudian, Nayla menghampiri mereka. "Sorry ya, Ci. Lama, biasalah cewek," ujar Nayla mencoba santai, walau sebenarnya ia merasa tak enak.

4 Girls [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang