Bab 46 : Typo

1K 91 0
                                    

***
Salah satu rasa sakit adalah ketika hasil jerih payahmu hancur tepat di hadapan mu.

*
*
*

"Akhirnyaaaaa." Letta bernafas lega, ia merenggangkan otot-otot pinggangnya setelah bersusah payah mencari jalan keluar.

Kini ke delapan manusia itu sudah berhasil keluar dari hutan. Jangan tanyakan bagaimana kondisi mereka, tentu jauh dari kata baik-baik saja. Penampilan mereka persis seperti gembel nabrak tiang kecebur got. Sangat berantakan.

Nayla terduduk di aspal lantaran sudah tak kuat lagi untuk berjalan. Pergelangan kakinya di penuhi luka gores akibat terlalu bersemangat lari kemarin. Saci sendiri kini berada di gendongan Agam karena sudah tak kuat berjalan. Selain fisiknya tak sekuat yang lain, gadis mungil itu juga mengalami dehidrasi.

"Kalian balik duluan aja, motornya cuman ada tiga, kan?" cetus Vano menyuarakan pendapat.

"Terus Kak Vano gimana?" lirih Saci yang masih bisa di dengar oleh sang empu.

"Nggak usah di pikirin, yang penting kalian dulu aja." Vano melirik Agam. "Gam, lo bawa Saci aja dulu. Kasian," lanjutnya.

Letta memandang lurus pada kondisi Vano. Dia berdecak. "Van, lo duluan aja. Biar gue yang di sini, lo sama Anya aja. Dia juga capek banget keliatannya."

"Ck, nggak papa lo aja yang balik duluan," sahut Vano.

"Ngebantah, gue mutilasi lo," ancam Letta tak main-main. "Lagian gue ini setrong," lanjutnya menepuk dada kirinya.

"Lo di sini, gue di sini juga," celetuk Anya membuat Letta berkacak pinggang.

"Lo nggak kasian sama Ibu, dia pasti khawatir sama lo. Itu juga Nayla, lo balik duluan."

"Letta bener, kalian duluan aja. Biar gue yang di sini sama dia," kata Regan menengahi. Di banding yang lain, kondisi dirinya yang paling baik-baik saja. Hanya beberapa luka goresan, dan dia sudah terbiasa.

Semuanya mengangguk setuju, setelah nya mereka melajukan kendaraannya masing-masing. Menyisakan Letta dan Regan di tempat sepi ini. Sekarang keduanya hanya perlu menunggu teman-teman nya menjemput. Kan tidak mungkin mereka berjalan kaki untuk pulang.

****

Motor yang Vano tunggangi berhenti tepat di depan rumah Anya. Ketika mereka turun, Sifa langsung menghampiri dengan perasaan cemasnya.

"Ya Allah, Anya. Kamu dari mana aja, Ibu khawatir sama kamu." Sifa memeluk putrinya khawatir. Sejak semalam, dia menunggu Anya pulang. Tapi putri semata wayangnya itu tak kunjung terlihat, membuatnya di landa khawatir.

Anya melerai pelukan. Dia tersenyum simpul. "Maafin Anya, Bu. Anya kemarin—"

"Ya ampun, ini muka kamu kenapa? Kenapa luka-luka begini, ini juga baju kamu kotor begini. Kamu habis dari mana aja?" cerca Sifa setelah meniti penampilan Anya yang terlihat acak-acakan.

"Assalamualaikum, Tan." Vano menyalami tangan Sifa sopan. Hal itu membuat Sifa terkejut untuk kedua kalinya. Terlalu panik dengan keadaan Anya, dia sampai tak mengetahui keberadaan Vano.

"E-eh, iya, waalaikumsalam. Kamu ... temennya Anya, ya?"

"Mau nya sih lebih, Tan. Tapi pintu hatinya Anya rapet banget," jawab Vano bercanda. Hal itu membuat Sifa geleng-geleng kepala.

4 Girls [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang