Bab 54 : Pohon Jambu

1.1K 99 3
                                    

***
Pinter itu pilihan. Kalo mau pinter ya belajar, kalo nggak mau ya ga usah belajar. Dan soal menikmati hidup di masa muda, menurut gue itu hal yang salah untuk di lakuin. Kalo di suruh milih, gue lebih milih nikmatin hidup di hari tua, dan bekerja keras di masa muda, karena memang itu 'kan yang di lakuin orang tua?

———Anya Cassandra———

*
*
*

Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap seminggu sebelum UAS, murid-murid AHS akan sangat sibuk belajar. Persaingan yang ketat semakin membuat mereka harus belajar lebih giat agar mendapatkan hasil yang memuaskan.

Berbeda seperti sekolah yang lain, setiap seminggu sebelum UAS, jam mengajar guru hanya sebentar. Karena sisa jam belajar nya akan di gunakan murid-murid untuk belajar mandiri.

Bukan tanpa alasan AHS menerapkan sistem belajar seperti itu. Tentu saja dengan sistem ini, di harapkan murid-murid dapat belajar efektif tanpa tekanan dari guru. Juga mereka bisa saling berdiskusi, membantu satu sama lain, atau beristirahat jika mereka merasa lelah.

Sistem ini cukup bebas, karena murid-murid bisa belajar dengan posisi ternyaman mereka. Ada yang belajar sambil makan, belajar sambil mendengarkan musik, berkelompok, ada juga yang menyendiri agar bisa fokus.

Dan saat-saat seperti ini, perpustakaan akan penuh diisi oleh siswa-siswi ambis.

Menelan kripik yang baru saja selesai di kunyah, Letta memandang takjub sekaligus heran pada teman-teman nya. Mereka tengah berkumpul di gazebo, dan berkutat pada bukunya masing-masing.

"Lo semua nggak capek apa belajar mulu?" Lagi, dia mencomot kripik singkong di kemasan lalu melahapnya.

"Capek, tapi harus tetep belajar, biar pinter," jawab Saci lalu kembali menulis.

Letta menautkan kedua alisnya bingung. "Kenapa harus pinter? Menurut gue, biasa aja udah cukup. Yang penting waras, dan nggak tinggal kelas."

"Waras itu nomor satu, beradab itu nomor dua, dan nomor tiganya itu pinter atau berilmu," sahut Anya merenggangkan otot-otot jemarinya.

Letta sedikit mengangguk. "Gue ngerti. Maksud gue, kenapa kita harus pinter gitu? Manfaat nya apa? Kata orang hidup itu harus di nikmatin, mumpung masih muda."

"Orang mana? Orang males?" sahut Nayla yang juga kini sedang mengistirahatkan diri. Dia mencomot kripik kentang di sebelah Saci. "Lagian, lo pikir, kenapa R.A Kartini bisa memperjuangkan hak perempuan?"

"Karena dia pengen!" jawab Saci menatap Nayla.

Nayla terdiam sejenak, tidak ada yang salah sih dari jawaban Saci. Karena apapun itu di mulai dari niat atau keinginan. "I-iya sih. Tapi lebih tepatnya, karena R.A Kartini itu pinter, makanya dia bisa memperjuangkan hak kaum wanita."

"Ya ... itu kan R.A Kartini, bukan kita."

"Sama aja. Kalo lo tanya apa manfaat pinter, jawabannya yaa ... tergantung," sahut Anya.

"Maksudnya?"

"Pinter itu relatif, tinggal gimana cara lo mandang arti pinter itu sendiri." Anya mengendikan dagunya ke arah Nayla yang tengah menyimak. "Lo liat Nayla, dia mahir dalam bidang olahraga apapun. Lo pasti sebut dia pinter, kan?"

4 Girls [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang