Bab 50 : Pernyataan

1.1K 110 7
                                    

***
"Ternyata, cinta itu bahagia dan menyakitkan."

———Nayla Anastasya———

*
*
*

Fokus Anya tak terbagi sama sekali. Kali ini gadis itu tengah berkutat dengan soal-soal akuntansi di perpustakaan. Sebentar lagi ulangan akhir semester satu. Jadi dia menyibukkan diri untuk belajar.

Jam istirahat ia gunakan semaksimal mungkin, karena setelah pulang sekolah dia harus ke kantor NC untuk bekerja. Ya, Nayla memberinya kabar bahwa dia bisa mulai bekerja sore ini.

Terlalu sibuk, Anya sampai tak mengetahui jika seseorang kini telah duduk di sampingnya seraya menopang kepala dengan tangan. Memandangi wajah serius Anya yang tampak cantik dari berbagai sisi.

"Cantik banget gila," gumam Vano yang hanya bisa di dengar sendiri.

"Anya!"

Anya tersentak dan menolehkan kepala. Ketika mengetahui siapa yang memanggilnya, dia hanya menghembuskan nafas kemudian kembali berkutat pada soal-soal nya.

"Gue mau ngomong, penting," ujar Vano.

Berdiri, Anya menyusuri salah satu rak dan mengambil satu buku. Gadis itu menyodorkan buku itu kepada Vano. Yang langsung di terima pemuda itu tanpa banyak tanya.

"Gue ...."

"Ssssttt ... baca, Kak. Bentar lagi UAS. Ngomongnya nanti aja," ucap Anya kemudian kembali pada bukunya sendiri.

Vano mengangguk patuh, jantungnya berdisko karena merasa Anya sedang perhatian padanya lantaran mengingatkan nya untuk belajar. Tanpa bisa di cegah, pemuda itu membaca buku pilihan Anya sambil tersenyum tipis. Sesekali mencuri-curi pandang.

Setelah selesai dengan belajar mandirinya, Anya dan Vano kini berada di kantin sekolah. Masih ada sekitar sepuluh menit lagi sebelum bel masuk berbunyi. Sekarang Anya tengah menikmati makanannya dengan tenang. Cukup sepi, karena anak-anak yang lain pasti sudah ke kelas atau ke gedung kedua.

"Gue udah nemuin alamat sopir truk nya," cetus Vano tanpa basa-basi. Membuat Anya tersedak nasi gorengnya. Buru-buru Vano menyodorkan minuman pada gadis itu, yang langsung di teguh rakus oleh Anya.

"Serius? Dimana?" tanya Anya antusias.

"Gue udah kirim ke Nayla. Abisnya, lo nggak pernah baca chat gue, sih," ceplos Vano sedikit merengut kesal. Ya, selama ini Vano kerap mengirimi Anya pesan. Entah menanyakan kabar atau sekedar basa-basi. Tapi dari sekian banyak pesan yang Vano kirim, tak ada satupun yang Anya baca. Miris.

"O-o ... sorry. Makasih juga buat usahanya," tutur Anya kaku. Dia jadi tak enak hati. Eh, tapi kenapa dia merasa tak enak?

Seharusnya dia merasa biasa saja, karena bukan hanya Vano yang pesannya tak pernah Anya baca. Bahkan cewek pun kalau pesannya tidak penting tidak akan ia baca. Karena kebanyakan isi pesannya adalah dari manusia yang suka memanfaatkan.

Mengangguk singkat, Vano tersenyum simpul. "Sans. Jadi ... sekarang kita boleh temenan?"

Melirik sekilas, gadis itu mengangguk. "Boleh. Maaf soal waktu itu Kak ... gue cuman sedikit trauma sama pistol. Kalo cuman liat sih nggak papa, tapi kalo pegang ...." Anya menghentikan ucapannya. Eh, kenapa dia menceritakan tentang trauma nya pada Vano? Ada apa dengannya? Teman-teman nya saja belum ada yang tau.

4 Girls [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang