Bab 37 : Peringkat 23

1.1K 102 1
                                    

***
Seperti kata Anya. Roda itu berputar. Mungkin hari ini kau di sebut si bodoh, tapi akan ada saatnya kau di sebut si pintar jika kau mau mengubahnya.

*
*
*

Entah lagi sial atau apa, tiba-tiba saja hujan deras mengguyur kota Jakarta malam ini. Menciptakan hawa dingin yang menusuk kulit dan membuat Anya terjebak di salah satu halte untuk berteduh.

Bersyukur karena sekarang Anya mengenakan jaket seperti biasanya. Jadi dia tidak terlalu kedinginan. Gadis itu melepaskan topi nya, mengamati aliran air yang terlihat seperti tirai. Dirinya berdecak karena hujan tak kunjung reda. Pasti sekarang ibu khawatir.

Anya memejamkan matanya untuk menikmati suara hujan. Hingga suara hujan yang mulai menghilang membuatnya kembali membuka mata. Ternyata hujan sudah reda. Tanpa basa-basi, Anya kembali memakai topi nya dan kembali berjalan untuk pulang.

Malam ini benar-benar sial. Anya menghentikan langkahnya saat segerombolan laki-laki bermotor menghadangnya. "Anjay. Neng, sendirian aja," goda salah satu dari mereka.

Anya tak menggubrisnya dia hendak kembali berjalan, namun seseorang menarik tangannya. Sontak saja Anya menyentak cekalan itu. "Jangan lancang!" peringat Anya dengan tatapan membunuh.

Pemuda itu merasa semakin tertantang. "Whuss, santai dong cantik! Mau babang anterin nggak nih? Tapi nanti mampir seneng-seneng dulu, ye gak?" kata pemuda itu yang langsung di sambut kekehan oleh teman-teman nya yang lain.

Anya mengamati ke tujuh pemuda itu. Seketika dia tersadar sesuatu dan tersenyum tipis. "Oh ya? Boleh, seneng-seneng di penjara, kan?"

"Waduh, cantik. Mulutnya pedes juga, ya. Minta di cium sih ini," kata salah satu pemuda yang mengapit sebatang rokok di jari.

Anya marah, tapi dia masih bisa mengontrol emosi nya. "Btw, Kenzo udah mati belom?"

Mendengar perkataan itu, sontak saja orang-orang di sana berdiri tegang.

"Kalo belom mati, rencananya gue mau bikin kalian nemenin dia di rumah sakit. Tapi, sebagai pasien," sembur Anya tanpa rasa takut.

Tangan Anya di cengkram oleh pemuda dengan rambut yang bersemir hijau. Sontak Anya melepaskan cengkraman itu dan memberikan satu pukulan pada pemuda itu.

"Cewek bodoh! Gue habisin lo," maki salah satu dari mereka kemudian melayangkan pukulan pada Anya.

Pada akhirnya mereka terlibat perkelahian. Tujuh pemuda dengan satu gadis dingin.

Brugh!

Anya tumbang, gadis itu terkapar di aspal dengan beberapa luka di wajahnya. Anya sudah menduga hal ini karena dia sendiri tak yakin saat melawan ke tujuh pemuda itu.

Salah satu pemuda di sana berjalan mendekat. Dia tersenyum miring saat melihat Anya yang tak berdaya. "Cih, katanya lo mau bikin kita masuk rumah sakit? Perempuan lemah kayak lo, nggak usah sok-sokan. Mending main sama kita," remeh nya. Di ikuti tawa meremehkan dari yang lain.

Anya tidak takut, dia masih mempunyai harapan terakhir untuk selamat. Semoga benda itu benar-benar ampuh. Gadis itu tertawa meremehkan, hal itu membuat tawa mereka hilang dalam sekejap. "Lo semua budek? Gue bilang, rencananya gue mau bikin kalian masuk rumah sakit. Dan ini rencana gue."

Bibirnya Anya mengerucut saat kedua pipinya di cengkram pemuda itu. Darah di ujung bibir kian mengalir. "Bahkan lo nggak bisa nyingkirin tangan gue sekarang."

Dengan sekuat tenaga, Anya menyentak tangan itu hingga terlepas. "Bukan gue yang bakal kirim kalian ke rumah sakit." Anya menjeda ucapannya, dia menarik kalung pemberian Letta dari lehernya. Dia mengangkat kalung itu, menunjukkan nya pada para lelaki yang kini nampak mematung terkejut.

4 Girls [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang