Bab 51

35 3 0
                                    

Setelah pembicaraan tadi dengan orang tuanya, Abian sekarang ada di dalam kamarnya. Terasa hampa dan dingin karena sudah lama dia tinggal, bahkan barang-barang nya masih tersimpan di tempat yang sama.

Abian merebahkan tubuhnya di atas kasur yang sempat dia rindukan, lalu mengambil ponselnya untuk memberi kabar pada Anya meski cukup terlambat.

Setelah mendapat pesan jawaban dari Anya, Abian kembali meletakan ponselnya di sembarangan di atas kasur.

Otaknya kembali berpikir dengan semua kejadian yang tak pernah dia duga, Abian juga masih tidak menyangka dengan Galang yang tiba-tiba berubah seperti ini.

Abian dan Galang tidak pernah bertengkar hebat, hanya pertengkaran seorang kakak dan adiknya. Namun kemarin, itu sungguh diluar akal sehatnya.

Dan Abian juga memikirkan yang Anita bilang tadi, jika Kakaknya memiliki gangguan kejiwaan.

Sejak kapan?

Kenapa bisa?

Apa penyebabnya?

Masih ada banyak pertanyaan lain di dalam pikiran Abian saat ini, namun karena lelah tanpa bisa dihindari Abian tertidur dengan banyak yang dia pikirkan.

Hingga satu setengah jam berlalu, Abian terbangun karena Anita membangunkannya untuk menyuruhnya makan.

"Iya Bu, Abian nanti nyusul ke bawah." Ucap Abian yang sekarang duduk di atas kasur, merasakan pusing di kepalanya.

Anita keluar kamar Abian.

Setelah duduk lima menit, Abian pun pergi ke kamar mandi yang ada di kamarnya. Memilih untuk mandi dan setelah selesai berganti pakaiannya dengan memakai kaos polos dan celana pendek.

Abian turun ke lantai satu, dan langsung berjalan ke dapur. Orang tuanya sudah menunggu disana, Abian duduk di kursi meja makan.

Meski sudah mandi, terlihat jelas raut wajah Abian yang seperti banyak pikiran.

"Makan dulu ya, nak." Anita menyiapkan makan untuk Abian dan untuk Galuh.

"Makasih Bu." Ucap Abian menerima piring yang sudah terisi nasi serta lauknya.

"Sama-sama nak." Jawab Anita.

Mereka pun makan dengan hening, lebih tepatnya tidak tau harus membicarakan apa dengan kondisi keluarga yang menjadi seperti ini.

Setelah selesai Abian duduk di sofa bersama Galuh, sedangkan Anita membereskan sehabis makan tadi bersama pekerja rumahnya.

Galuh mengusap pundak kanan Abian, dan Abian menoleh.
"Ayah minta maaf.." Ucap Galuh yang bergetar.

"Ayah merasa gagal sebagai kepala keluarga.. Tidak pernah terpikirkan oleh Ayah membedakan kalian.. Kalian tetap anak Ayah dan Ibu, namun kejadian Galang kemarin memberikan pukulan keras untuk Ayah.. Menyadarkan Ayah sebagai orang tua yang harus kembali belajar mendidik anaknya.." Suara Galuh semakin lama semakin lirih.

Abian memegang tangan sang ayah, memang tidak ada yang bisa menebak soal alur hidup setiap manusia.

"Ayah benar-benar minta maaf nak.." Galuh menundukan kepalanya.

Abian menggeleng dengan cepat, "Gak ayah.. Ayah selalu memberikan kasih sayang yang cukup untuk kami.. Ayah gak salah.. Mungkin memang keadaan yang mengharuskan kita seperti ini.. Dan mungkin lebih baik kita tanyakan sama kakak nanti, apa yang sebenarnya terjadi.." Galuh mengangguk dan memang lebih baik bertanya pada Galang nanti.

Sore pun tiba, Abian dan kedua orang tuanya pergi ke rumah sakit dimana Kakaknya di rawat. Tidak butuh waktu lama untuk mereka sampai dirumah sakit, setelah Abian memarkirkan mobil orang tuanya lalu mereka keluar dari mobil.

Galuh sudah menghubungi dokter yang menangani anaknya, dan juga memberitahukan jika dirinya akan menjenguk.

Galuh diberitahukan untuk ke lantai 5,dan di sana dokter Radi sudah menunggu.

"Selamat sore dokter." Sapa Galuh.

"Selamat sore juga Pak.." Balas sapaan dari dokter Radi, " Yuk ikut saya ke ruangannya." Ajak Radi.

Abian menggandeng tangan Anita mengikuti Galuh dan dokter Radi dari belakang.

Tepat di depan pintu berwarna putih dengan tertulis nama Galang Raditya. Hingga dokter Radi membuka pintu, terlihat seorang pria dewasa memakai baju rumah sakit tengah berdiri menatap keluar jendela.

"Nak.." Panggil Anita pelan.

Galang berbalik dan menghadap pada mereka, Galang tersenyum seperti biasanya yang selalu Abian lihat.

Galang memeluk Anita dan Galuh bergantian, dan mengajak orang tuanya untuk duduk di sofa yang ada di ruangan ini.

Sedangkan Abian masih berdiri bersama dokter Radi.

Dokter Radi menepuk-nepuk pundak Abian sebentar lalu pergi ke keluar ruangan.

Abian masih tetap berdiri memperhatikan interaksi mereka, seperti tidak ada yang salah.

"Kak." Abian mencoba memanggil Galang. Dan yang di panggil pun menoleh lalu tersenyum.

"Bu, ada Abian ke sini." Galang memegang tangan Anita namun masih tetap memandang Abian dengan senyum khasnya.

Kening Abian mengerut, ternyata sedari tadi Galang tidak melihatnya. Padahal mereka masuk bersamaan, dan Abian juga terkejut karena Galang tidak menyadari kesalahannya kemarin.

"Sini, duduk sama Kakak." Titah Galang menepuk-nepuk sofa kosong di sebelah kanannya, karena Galuh bergeser.

Kenapa Galang bisa seperti ini?

Abian pun menghampiri Galang dan duduk di sebelahnya.

"Kamu gak sekolah de?" Tanya Galang, yang benar-benar tidak mengingat kejadian kemarin.

Abian menggelengkan kepalanya, dan menatap Galang yang masih tersenyum padanya.

"Kalau ada tugas yang gak ngerti, tanya sama Kakak aja, oke." Galang merangkul Abian.

Anita menahan suara tangisannya, sedari tadi memperhatikan pembicaraan kedua anaknya membuat hatinya tersentuh.

Galuh izin keluar untuk menemui dokter Radi mengenai Galang.

Galang berbicara seolah apa yang terjadi kemarin-kemarin itu tidak ada, ingatan Galang seolah hilang dua bulan kebelakang.

"Bu, Kak.. Aku keluar dulu ya.. Kakak makan di temenin sama ibu aja." Ucap Abian.

Anita dan Galang mengangguk, membiarkan Abian keluar.

Langkah Abian berhenti ditaman rumah sakit, banyak orang disini memakai baju pasien.

Ada yang tertawa sendiri di depan pohon sambil duduk di kursi roda, ada yang memeluk boneka, ada juga yang duduk lesehan di rumput memainkan permainan anak kecil. Padahal umur mereka yang Abian bukan masanya, mungkin sekitar umur 30an.

Abian duduk disalah satu bangku yang kosong dan menatap langit, tidak terlalu terik dan ada hembusan angin.

Kakak yang selalu dia kagumi, dan pahlawan yang saat dirinya butuh menjadi sirna dan melebur.

Kondisi Galang tidak bisa di bilang baik-baik saja.

Tanpa terasa air matanya luruh, sakit yang Abian rasakan di dadanya saat ini.

Anya Oktaviani (SLOW UP) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang