Suara bising sirine ambulan dan sirine polisi saling bersahutan, meramaikan perjalanan pulang ke tempat peristirahatan dua raga yang sudah tidak bernyawa untuk dimakamkan.
Berbeda dengan sosok yang sejak kemarin sudah merasa mati, dia diam seolah hidup nya hanya ada sepi dan sunyi, tidak berarti lagi.
Jazzriel, sosok itu tidak lagi menampakkan wajah sedih atas kepergian dua orang tercintanya. Hanya datar dengan pandangan kosong, layaknya mayat hidup.
Kedua orang tuanya di makamkan bersama, tepat bersampingan layaknya dua orang yang saling mencinta selama hidupnya, seolah tidak bisa dipisahkan walaupun maut yang dihadapinya.
Netra milik Zriel yang semula menatapi bagaimana orang orang yang memakamkan itu menginjak injak tanah yang menimbun dua raga di dalamnya, kini dia alihkan untuk menatap langit.
Bahkan dihari kematian kedua orang tuanya, Tuhan justru memberikan langit yang begitu cerah.
Sebenci itu kah Tuhan sampai semesta pun dia buat senang atas kepergian dan kehilangan yang dia rasakan.
Zriel benci saat menyadari bahwa dia telah kalah telak melawan takdir yang ternyata memang bukan miliknya. Semua yang dia genggam, semua yang dia miliki, pada akhirnya satu persatu mulai pergi, meninggalkan nya sendiri.
Lelah. Zriel ingin menyerah untuk segala yang dia hadapi. Bahkan untuk sekedar menangisi kepergian ini, Zriel sudah tidak bisa lagi. Seolah memang dirinya juga ikut mati.
Tatapannya mengedar menatap satu persatu keluarganya yang juga ditinggal pergi, Malik, Mala, Tamara, Calva, keempatnya berderai air mata. Berbeda dengan Zriel yang sudah tidak bertenaga, dia pasrah pada apa yang Tuhan beri untuk hidupnya.
Setelah berdoa dan menaburkan bunga di atas dua gundukan tanah yang masih basah itu, satu persatu orang mulai pergi meninggalkan keluarga yang masih setia menangis di samping kedua nisan orang tua Zriel.
Zriel berjongkok di antara kedua gundukan tanah itu, kepalanya tertunduk, ada beribu macam emosi yang dia rasakan, juga ada beribu macam pertanyaan yang tidak bisa dia sampaikan dan yang jelas ada beribu macam hal yang dia sesalkan.
" Pa, Bun " panggil Zriel dengan lirih.
' Iel pergi dulu. Tunggu Iel disana ' pamit dan pintanya yang tidak disuarakan.
Lalu setelahnya dia bangkit, mengabaikan tangisan meraung raung dari Mala yang tidak rela ditinggalkan untuk selamanya oleh anak semata wayang nya.
Zriel berjalan melewati Calva, tatapan nya kosong, bahkan kehadiran teman temannya pun dia abaikan.
Para anggota inti Gargle, bersama dengan Azza dan keempat temannya termasuk Yora yang setia menunggu tepat berada beberapa langkah di belakang Zriel hanya bisa menatap kepergian laki-laki itu, nanar.
Sejak dinaikkannya kedua mayat orang tua Zriel ke dalam mobil hingga kini sudah dimakamkan, Azza tidak berani mendekati Zriel. Perasaan bersalah, iba, sedih, kecewa dan marah bercampur menjadi satu. Membuat Azza tidak mampu untuk memberikan ketenangan dan kekuatan pada yang terkasih, rasanya dia tidak pantas.
Benar, Azza masih sangat menyayangi Zriel. Bohong jika dia sudah tidak cinta, karna nyatanya Azza memang mencintai laki-laki itu. Dan melihat laki-laki itu hancur, membuat Azza juga ikut hancur.
Pertama kali dalam hidupnya, Azza merasakan sesuatu yang tidak bisa dia jabarkan bagaimana rasanya.
" Za " panggil Ravell.
Lamunannya teralihkan dan dengan gelagapan Azza menatap bertanya ke arah Ravell.
" Susul Zriel, sana " lanjut Ravell sambil menunjuk Zriel dengan dagunya yang berjalan ke arah mobil dengan diikuti Calva dibelakangnya.