Bab 4

5.1K 484 73
                                    

"Res, mau sampe kapan lo nungguin Kirana? Sepuluh tahun Bro, sampe anak gue mau tiga!" Radi mengacungkan ketiga jemarinya dengan senyuman tertahan sebelum menggulung ujung kemeja slim fit-nya hingga mendekati siku.

Ares menampakkan raut putus asa, menggeleng kecil sebelum membuang asap rokoknya. Saat ini ia sedang bertemu dengan Radi, salah satu sahabat baiknya yang bekerja di bank BUMN sebelah dan kebetulan baru seminggu dimutasi ke Surabaya sebagai Area Manager. Mereka berdua sedang duduk di smoking area kedai kopi yang berada di salah satu mall.

"Apa lo nunggu anak gue empat?" Radi memantik api dan membuang asap rokoknya. "Bucin boleh, bulol jangan....."

"Gue tahu gue bego...." Ares kembali menggeleng kecil. Sebelah tangannya yang bebas memangku kening. "Tapi cuma sama dia gue bisa ngerasa kayak gini. Pokoknya gue harus dapetin dia. Gue udah invest banyak waktu, uang, tenaga..... masa gue nggak dapetin dia? Gue udah effort abis-abisan. Gue sampe digosipin gay bertahun-tahun, gue terpaksa nggak peduli." Ares menyesap frustasi rokoknya. Tentu saja ia tahu mengenai gosip itu.

"She's just playing games. Kalian pacaran putus, nyambung, putus, nyambung, putus lagi.... gitu terus. Mau sampe kapan lo putus nyambung kek gini?"

"Lo tahu gimana perjuangan gue sama dia..."

"Perjuangan apa? Jadi selingkuhan pacar orang?"

"Ck." Ares mendecih kecil. "Harus gue bilang berapa kali, waktu itu kita cuma temenan deket...."

"Waktu itu dia udah punya pacar," tukas Radi. "Selama setahun lo rela nunggu dia putus sama pacarnya. Mau lo bilang bukan selingkuhan dia, tapi kalian deket waktu dia belum putus...."

Ares membuang napas kasar.

"Terus itu namanya apa kalo bukan selingkuhan?" Radi sengaja memasang raut sangsi.

"Ya karena emang gue bukan selingkuhan. Kita nggak ngapa-ngapain kok cuma temen curhat," kilah Ares sambil membuang abu rokoknya pada asbak.

Radi tersenyum kecil sambil mengernyitkan dahi. "Tapi kayaknya lo udah tahu sifat Kirana. Lo bisa terima dia punya banyak temen cowok. I mean.... lo bisa santai gitu dengan track record dia? Kalo gue sih, nggak terima ya cewek gue deket sama cowok lain, selain gue."

"Kirana emang friendly...."

"Lo nggak usah ngebela dia. Iya gue tahu dia friendly, temen cowok dia banyak. Yakin dia cuma friendly? Se-friendly itu sampe.... nggak ada batasan? Kalo gue nggak mau sih cewek gue akrab sama cowok lain. Gue seposesif itu demi harga diri gue sendiri. Tapi kalo gue anggep itu cewek just for fun, oke lah, serah dia mau mepet cowok lain. Tapi kalo gue serius, ogah! Kalo gue."

Ares menyesap frustasi rokoknya.

"Dulu lo rela nunggu dia putus sama pacarnya, sampe setahun. Lo selalu available buat dia. Tiap dia ribut sama pacarnya, dia lari ke lo. Lo bilang, dia nggak bahagia sama pacarnya dan lo jadi tempat ternyaman buat curhat bla bla bla. Akhirnya dia beneran putus dan jadian sama lo. Selama ini lo dalem sama dia, tapi nyatanya nggak cukup bikin dia yakin nikah sama lo. Kenapa nggak lo jadiin baby aja tiap kalian ketemu?" Cengiran nakal Radi mengembang. "Dari pada lo digantung lebih lama lagi? Lo udah habis banyak waktu, uang, tenaga, pikiran buat dia. Toh kalian juga udah kayak begitu kan? Jadi kalian ini sekarang apa? Mantan with benefit? Nggak ada hubungan tapi kayak orang pacaran, mana lo setia nunggu dia."

"Ya mana bisa gue begitu?" Ares menatap protes. "Dia yang punya rahim, dia yang mutusin mau hamil apa nggak..."

"Terus?"

"Ya udah...."

"Ya udah gitu aja?"

"Ya gue bisa apa? Gue udah berkali-kali ajak dia nikah tapi dia masih belum mau."

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang