Bab 5

4.9K 473 36
                                    

"Pagi," sapaan berwibawa terdengar seperti biasanya saat Ais sedang menggambar alis di balik meja.

"Pagi Pak Ares."

"Pagi Pak."

Suara balasan terdengar.

Ais segera mengenakan kacamata sebelum mengangkat wajah, tepat ketika Ares muncul di depan mejanya. "Pagi Pak." Ia membalas dengan senyuman seperti biasa.

Ares segera meletakkan kantung kresek sambil menatap lurus wajahnya.

"Eh? Apa ini Pak?" Ais bertanya dengan raut bingung.

"Coba kamu liat." Ares melirik sekilas pada kantung kresek yang baru saja ia letakkan di atas meja. Kedua matanya turut menangkap pensil alis dan bedak Wardah di meja Ais.

Ais yang penasaran segera mengecek isi kantung kresek di atas meja dan dengan terheran-heran mengeluarkan satu bungkus tisu beserta kotak tisu. "Ini.... buat apa Pak?"

"Buat meja kamu. Di meja kamu nggak ada tisu. Sekarang, di meja kamu udah ada kotak tisu sama isinya." Ares memiringkan kepala. Kini tidak ada alasan Ais bersikap jorok dan mengelap gigi dengan ujung lengan kemeja karena sudah tersedia tisu di atas meja.

"Ma... makasih Pak!" Ais mengangguk sumringah meski tidak mengerti mengapa tiba-tiba Ares begitu perhatian terhadap kondisi meja kerjanya?

Ares hanya mengangguk sebelum menuju ruangannya. Semalam ia sempat menemani Radi berbelanja sebelum pulang dan ia memutuskan membeli tisu untuk meja kerja Ais. Ia tidak bisa bertahan melihat hal-hal jorok lainnya. Sudah cukup ia melihat Ais mengusap lipstik di gigi dengan ujung lengan kemeja. Ares tidak ingin melihat hal-hal yang lebih jorok dari itu.

Pagi itu mereka memulai briefing yang diisi dengan pengumuman standar prosedur operasional pembukaan rekening yang terbaru, beserta prosedur penerbitan dan penggantian kartu ATM yang secara efektif mulai diberlakukan minggu depan.

"Untuk formulir pembukaan rekening terbaru sudah kita informasikan ke tiap-tiap cabang Pak Ares, dan sudah tidak diperkenankan menggunakan formulir yang lama." Ais memberikan laporan.

"Oke, tolong kamu pastikan semua cabang sudah punya formulir pembukaan yang baru. Suruh tim kita di tiap-tiap area buat pantau cabang-cabang. Saya mau semua cabang sudah punya formulirnya, tanpa terkecuali. Nggak ada alasan belum di drop, belum pesen, atau belum dapet. Saya mau laporannya maksimal nanti sore, buat make sure aja tiap cabang beneran udah punya formulirnya."

"Siap Bapak." Ais segera mengangguk dan mencatat pada buku notulen.

"Ada info apa lagi?" Ares menatap seluruh staf departemennya yang berdiri melingkar di depan ruangan meeting. Briefing pagi memang selalu dilakukan secara singkat. Setelah berdoa, mereka saling bertukar informasi. Biasanya membutuhkan waktu paling lama antara dua puluh sampai tiga puluh menit sehingga kerap dilakukan sambil berdiri. Departemen yang lain juga melakukan hal yang sama dan cara briefing seperti ini sudah menjadi budaya di perusahaan mereka.

"Pak." Guntur, salah satu tim leader AMLO mengangkat tangan.

"Iya silahkan Mas Guntur," ucap Ares kepada Guntur yang lebih muda. Ia sudah belajar jika di sini, laki-laki yang lebih muda juga bisa dipanggil Mas, tidak hanya yang lebih tua. Mas atau Mbak di Jawa adalah sapaan yang sangat umum. Bisa diutarakan kepada yang lebih tua atau yang lebih muda.

"Ijin untuk refreshment APU PPT Pak. Sudah tiga bulan, kok nggak ada laporan transaksi mencurigakan dari tiap-tiap area. Takutnya lolos semua Pak, kurang aware. Bahaya Pak. Takutnya profiling naabah nggak jalan."

"Sosialisasinya online atau ke tiap-tiap area?"

"Online Pak."

"Iya mending gitu, lebih efisien. Soalnya kalo ke tiap area boros anggaran juga. Oke Mas, silahkan diadakan. Oh ya Ais..." Ares beralih menatap Ais. "Minta ke setiap tim di area kirim BAST penunjukan PIC APU PPT di tiap cabang. Terus, kasihin ke AMLO."

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang