Bab 78

5.8K 850 449
                                    

Ais sungguh tidak mengerti, kenapa ibunya harus membeli perabotan baru di saat tidak ada lagi cukup tempat di rumah mereka yang kecil. Pagi tadi begitu ia membuka mata, sepasang kursi rotan berikut meja kecil itu sudah nongkrong di teras rumah mereka. Terlihat tidak pas karena menghadap sepeda motor yang menghadap pintu. Ibunya sampai harus menyingkirkan pot-pot tanaman agar kursi yang agak mengganggu jalan masuk itu bisa dipaksakan berada di teras. Bahkan yang membuat Ais semakin heran, ibunya membeli kursi itu dari salah seorang tetangga.

"Buat apa sih, ibu beli kursi lagi?" Ais tentu saja melempar protes.

"Itu lho, mumpung Bu Dolah jual murah...."

"Ya tapi buat apa? Emang siapa yang mau duduk di sini?"

"Kamu sama Pak Ares...."

"Ibuk!" Ais jadi menyesal saat tempo hari menceritakan tentang rencana Ares yang hendak datang lagi di malam Minggu ini. Apakah ibunya tidak menangkap maksudnya? Ia tidak sedang dalam rangka membuka hati, tetapi ia hanya sebatas menghargai niat baik Ares yang ingin berteman dekat sebelum pulang ke Jakarta. Padahal, Ais sudah mengatakan dengan jelas jika ia hanya bermaksud menyenangkan hati Ares. Hitung-hitung membalas sikap baik lelaki itu selama ini.

"Ais, kasihan kalo ngobrol di ruang tamu. Kan malu kalo kedengeran Ibuk."

"Kenapa harus malu? Ais sama dia ngobrol wajar-wajar aja...."

"Ais... udahlah. Nggak pa-pa kamu ngobrol duduk di sini aja di teras. Kan enak nggak gerah... sambil temenin dia minum kopi." Murni membetulkan sedikit letak kursi rotan yang sebenarnya juga tidak kenapa-napa. "Biar ngobrolnya lebih privasi gitu lho Ais."

Ais sungguh heran, sejak kapan ibunya ini familiar dengan kata privasi?

"Jadi.... nanti kamu ngobrol di sini sama dia." sambung Murni, "Biar enak sepeda motornya keluarin dulu, taruh aja di depan pager."

"Buk, ini di teras bisa diliat orang lewat. Apa kata tetangga kalo liat Ais diapelin laki-laki? Bisa-bisa Ais digosipin kayak Mbak Indah. Mending di dalem, nggak gitu kelihatan orang."

"Ais, orang lewat juga cuma sepintas. Nggak mungkin terang-terangan ngeliatin. Udahlah Ais.... santai sedikit. Kata orang sini nggak usah kamu pikirin."

Ais sudah tidak ingin berdebat lagi. Ia terpaksa menuruti saran ibunya meski meja kecil di teras hanya muat untuk meletakkan gelas kopi dan asbak, mungkin juga setoples camilan. Dan beginilah malam Minggunya sekarang, duduk berdua dengan Ares di teras, dipisahkan dengan meja kecil yang sudah terisi oleh gelas kopi, asbak, sekotak tisu, dan sepiring pisang goreng buatan ibunya.

Wah, heaven. Ares melirik gelas kopinya yang baru saja dihidangkan. Siapa yang butuh nongkrong di cafe jika teras rumah Ais sudah menawarkan banyak kenyamanan? Ais tampak cantik dengan gamis cokelat dan jilbab bermotif cantik. Rasanya tidak ada yang lebih romantis dari suasana kencan yang sangat rumahan seperti ini.

Ini nge-date. Ares menyimpan pendapatnya sendiri. Terserah Ais mau menganggap apa, ia akan menganggap ini kencan. Ia akan datang terus di setiap malam Minggu, dan Ais  yang tidak tahu jika ia memilih tetap tinggal di Surabaya akan terus mengizinkannya datang, karena mengira ia akan segera kembali ke Jakarta. Ares merasa sungguh licik karena memanfaatkan kebaikan dan kepolosan Ais. Tapi sungguh, Ares tidak punya cara lain supaya Ais berkenan memberinya kesempatan.

"Silahkan Pak pisang gorengnya." Ais menawarkan kembali pisang goreng yang lima belas menit lalu baru saja dihidangkan.

"Iya Ais." Ares tersenyum melirik pisang goreng yang ia yakin masih hangat. Sebelah tangannya mengambil selembar tisu sebelum membungkus pisang goreng yang akan ia santap.

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang