Jika saja Ares bisa menggambar takdir, Ares hanya ingin menggambar ia menemukan pintu kebahagiaan dan bergandengan selamanya dengan yang paling dicintai. Tapi entah mengapa, jalannya begitu sulit dan begitu rumit.
Seperti yang sudah-sudah, seperti yang lalu-lalu, ketika cintanya mengering, Kirana akan datang lagi membawa tangki harapan yang siap dituangkan kapan saja.
Akan tetapi, Ares merasa keadaannya sekarang sudah berbeda. Hatinya tidak lagi gersang dan cintanya terlanjur tumbuh untuk wanita yang lain, meski segalanya masih belum pasti.
Seiring gerimis yang tiba-tiba turun, Kirana ada di rumahnya.
"Sori aku cuma ada ini." Ares meletakkan botol air mineral ke atas meja tamu lalu duduk di sofa. Kirana yang sudah duduk di kursi lain, memilih meninggalkan kursinya dan duduk di sebelah Ares yang terlihat masih bingung dengan kemunculannya.
"Aku agak pilek." Kirana menyedot ingus yang masih tertahan di hidungnya.
Ares menggeser kotak tisu di tengah meja dan menyadari tisunya habis. Menghela napas, Ares mengembalikan kotak tisu pada tempat semula dan kembali duduk tenang. Rasanya tidak ada yang bisa ia lakukan dengan hal ini. Kalau Kirana mau, ia akan mempersilakan Kirana buang ingus di wastafel.
Sementara Kirana masih mengamati gerak-gerik Ares yang sudah terlihat berbeda. Dulu jika ia pilek, Ares yang tidak bisa jorok ini tidak keberatan menyeka ingusnya dengan jemari, jika kebetulan tidak ada tisu. Dulu saat ia datang dalam keadaan kurang sehat, Ares akan membuatkan teh hangat juga mi instan. Ares akan siaga merawatnya dan tidak pernah menjadi sekadarnya. Selama sepuluh tahun, mau mereka berstatus pacaran atau sedang putus, sikap Ares tidak pernah berubah. Tapi hari ini, ia melihat Ares yang berbeda. Kirana mengambil kesimpulan, mungkin ia sudah terlalu lama menghilang dari kehidupan Ares.
"Kenapa kamu tiba-tiba ke sini?" Ares mengeluarkan ponsel dari dalam saku, berikut rokok, korek, dan dompet. Saking terkejutnya dengan kemunculan Kirana, otaknya sedikit blank sehingga sedari tadi lupa mengeluarkan barang-barang itu dari saku celananya.
"Kangen."
Ares hanya menekan malas bibirnya.
"Kenapa kamu blokir aku?" Kirana melirik ponsel Ares di atas meja. "Kenapa kamu nggak pernah bales DM Instagramku?"
"Kenapa nggak?" Ares menemukan raut heran Kirana. "Kita udah putus. Suka-suka aku mau ngapain...."
"Oooooo....." Kirana tak dapat menahan senyumannya. Rupanya Ares masih marah. Ia bahkan lupa, apa yang menjadi penyebab Ares marah. Tapi menanyakannya hanya akan memperkeruh suasana. "Jadi kamu nganggep kita putus?"
Ares sedikit menyungging senyuman. Lebih tepatnya, senyuman geli. "Kamu pikir kita apa?"
"Jadi kita se-putus itu?" Kirana meraih ponsel Ares di atas meja dan menggambar pola pada layar. Tidak lama kemudian layar terbuka. "Kamu belum ganti pola layar lamu. Masih sama kayak punya aku." Kirana meraih ponselnya sendiri dan menggambar pola layar.
"Itu cuma pola layar..."
"Pola layar dari jaman kita pacaran sepuluh tahun yang lalu.... "
Ares memutar malas kedua matanya.
"Pola ini aku yang bikin, waktu kita barengan beli hape baru. Inget?"
"Nanti aku ganti."
"Nggak usah." Kirana dengan cepat membuka blokir Ares. "Sekarang kamu nggak blokir aku lagi."
"Nanti kamu pulang aku blokir lagi...."
"Ares...." Kirana menatap gemas.
"Jujur aja, mau ngapain kamu kesini?" Ares menyahut korek dan mengeluarkan sebatang rokok. Bibirnya sudah menjepit rokok, tepat saat akan memantik api, Kirana menyahut rokok di bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
POINT OF VIEW [End]
RomanceAres Rasendriya Darajat, definisi diem aja ganteng. Regional Head of Risk Department bank pelat merah itu masih lajang di usia 37 tahun. [SEBAGIAN PART HANYA BISA DIBACA DI KARYAKARSA] Padahal dengan gaya rambut kekinian dan segala yang ada pada di...