Bab 61

5.4K 683 429
                                    

"Enak Ais?" tanya Ares setelah dua suapan.

"Enak Pak!" Ais menatap takjub bebek di piringnya. Dalam potongan besar, dengan sambal yang terasa mantap. "Bapak kok bisa tahu tempat bebek enak gini?" tanya Ais sambil memperhatikan Ares yang makan bebek dengan sambal kecap.

"Sering makan sama Radi temen aku," jawab Ares berbohong. Sebenarnya ia tahu kedai bebek ini dari Kirana. Kebetulan, lokasinya juga tidak terlalu jauh dari kantor Kirana. Tentu saja Ares tidak ingin jujur agar tidak dianggap wisata masa lalu. Hal itu sama sekali tidak ada dalam niatnya. Siang ini ia hanya ingin mengajak Ais makan enak. Ais harus tahu salah satu kedai bebek di Surabaya ini.

Ais kembali memperhatikan suasana kedai bebek yang ramai. Ia melihat banyak pegawai kantoran yang makan siang di sini. Ais juga melihat cindo-cindo dan segerombolan PNS yang duduk di sebelah sana. Ais jadi mengingat rumus tempat makan yang konon katanya sudah pasti enak. Pokoknya jika ramai dan tempat makan itu sudah didatangi cindo dan PNS, sudah bisa dipastikan rasanya memang benar-benar terjamin.

"Saya baru tahu ada kedai ini Pak," sambungnya kemudian.

Masih banyak tempat makan enak yang lain cantikku, sahut Ares di dalam hati. Pokoknya sama aku, kamu bakalan ngunyah terus. Enak kan? Makanya, kamu mau ya sama aku?

Ais melihat Ares makan dengan lahap. Sementara Ares melihat Ais yang tanpa jaim emut-emut membersihkan sisa daging-daging pada tulang hingga bersih. Ares kembali melirik bebeknya yang tampak masih menyisakan daging-daging, tetapi emut-emut tulang seperti itu bukan gaya makannya.

Seingatnya ia tidak pernah makan dengan perempuan yang doyan emut-emut tulang seperti Ais. Kirana tidak terbaca jaim karena gaya makan Kirana sama dengannya. Kebetulan Kirana juga tidak suka emut-emut tulang seperti Ais.

"Aku cuci tangan dulu." Ares segera menuju wastafel meski sudah mencelupkan tangannya pada air kobokan yang sudah disediakan. Ia mencuci tangannya hingga tiga kali demi menghilangkan aroma makanan di jemarinya.

Ares kembali duduk di kursinya dan melihat Ais yang mencuci tangan pada air kobokan kemudian mengelap tangannya dengan tisu. Ares masih menunggu Ais pergi ke wastafel, tetapi Ais malah menyedot es jeruk sambil mengecek ponselnya.

Kamu nggak cuci tangan? Ares menatap jemari Ais. Tangan kamu masih kotor, ada bau sambel. Terus kamu pegang hape?

Ares masih terpaku menatap jemari Ais ketika rasa tidak tahan itu muncul. Biasanya, perasaan semacam ini membuat hatinya hilang rasa dengan cepat, khususnya saat dalam masa-masa pendekatan. Tapi bukankah Ais memang sedikit jorok? Ares masih ingat saat Ais mengelap gigi dengan ujung kemeja di depan mukanya, sehingga membuat ia membelikan tisu beserta tempatnya.

Sedikit jorok dan tidak rapi. Ares ingat, mendiang neneknya dulu kerap mengatai orang seperti Ais dengan sebutan slordeh. Seingat Ares, slordeh itu berasal dari bahasa Belanda. Memang, dulu neneknya fasih berbahasa Belanda. Buku-buku di rumah neneknya saja hampir semuanya dalam bahasa Belanda.

"Ais...." Ares membuka bibir yang membuat Ais segera menatapnya. "Kamu nggak cuci tangan dulu?"

"Sudah Pak." Ais melirik mangkuk air kobokan di dekat piringnya.

"Itu nggak bersih, Cantik." Ares menatap gemas yang membuat Ais terkesiap dan mengerjap cepat. Sepertinya Ais terkejut ketika ia memuji seperti ini. "Cuci tangan pake sabun di wastafel, atau nggak aku balikin ke kantor," goda Ares dengan tampang jahil. "Go!" Ares memberi isyarat dengan gerakan kepala dan membuat Ais segera bangkit menuju wastafel.

Ares menghela napas panjang sebelum menggeleng kecil. Sejenak ia berusaha mengenali keadaan hatinya saat ini. Rasanya tidak ada apa pun. Dia memang bikin ilfil, batinnya, tapi.....

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang