Bab 43

5.5K 601 172
                                    

Pagi ini Ares sengaja datang lebih awal. Agus dan Januar mengeluarkan kardus oleh-oleh dari bagasi dan berjalan mendahului. Jam dinding menunjukkan pukul 6.45 ketika ia sampai. Masih terlalu pagi, tapi Ares hanya ingin menjemput semangatnya setelah cuti panjang.

Ia sudah merindukan pekerjaannya. Ia rindu suasana kantor. Entah sejak kapan ia jadi rindu kantor, Ares juga tidak tahu. Padahal seumur-seumur tidak pernah.

Ares berjalan santai melewati lorong yang lenggang. Belum banyak pegawai yang berlalu-lalang. Agus dan Januar berjalan berdampingan melewati pintu dan mengangguk sopan ketika berpapasan dengannya.

"Makasih ya Mas," ucapnya kemudian.

"Sama-sama Pak." Mereka berdua menjawab.

Ares melewati pintu kaca yang terbuka otomatis dan menemukan ruangan yang masih sepi. Deretan kubikal tampak kosong tak berpenghuni.

Dia udah dateng? Ares menatap lurus ke depan meski meja Ais belum tampak. Apa ia akan melihat manik abu-abu lagi? Ares berjalan melewati ruangan meeting dan akhirnya melihat Ais sedang berdiri membelakangi meja, tampak sedang menata toples keripik di atas kabinet.

Rasa cemas semakin jelas, meski begitu sudut bibirnya sedikit tertarik sedikit. Ais tampaknya tidak menyadari kehadirannya. Ares melirik sejenak dua kardus buah tangan yang oleh Agus dan Januar diletakkan di dekat kaki meja sebelum mengembalikan tatapan pada Ais yang hari ini mengenakan hijab putih bermotif bunga-bunga.

"Pagi," sapaannya menggema pelan.

Ais yang terkejut segera menoleh. "Pagi Pak." Senyumannya otomatis mengembang lebih lebar.

Ares terpaku saat menatap wajah yang selalu datang dalam lamunannya. Matanya menatap alis yang terbentuk rapi, sapuan blush on merah muda tipis-tipis dan lisptik yang terlihat glossy. Tapi ia menemukan sesuatu yang berbeda.

"Kacamata kamu baru?" Ares memperhatikan kacamata Ais dengan bingkai tipis yang tampak elegan.

"Iya Pak..." Ais tersenyum sambil menyentuh sedikit kacamatanya. Dengan sedikit kikuk mempertahankan senyuman di bibir ketika melihat tatapan tertahan Ares. Salah tingkah, Ais berlagak membenarkan kacamatanya yang membuat Ares segera berkedip.

Aku kenapa? Bagai tersadar Ares mengalihkan sejenak pandangannya. Degup aneh timbul menyeret rasa canggungnya. Ares tidak tahu harus bicara apa lagi, tapi kakinya tertahan di depan meja Ais.

Dia janda dia janda dia janda dia janda dia janda. Rambu-rambu dalam dirinya berbunyi lagi.

"Makasih Pak oleh-olehnya." Demi mengusir sikap kaku Ais mengusung topik oleh-oleh.

"Iya sama-sama....." Ares kembali larut memandangi wajah Ais. "Itu ada Bakpia, rasanya macem-macem... kan aku sempet mampir Jogja sebelum ke sini." Ares mengucapkan apa saja yang terlintas di pikirannya demi bisa mengobrol.

"Oh iya Pak." Ais mengangguk.

"Nanti ambil ya, temen-temen juga suruh ambil."

"Iya Pak."

Dia janda dia janda dia janda dia janda dia janda. Ares kembali menyalakan rambu-rambu agar segera menyeret kakinya pergi dari hadapan Ais.

"Selama aku cuti ada apa aja?" Ares mengutuk bibirnya yang bandel dan malah melempar pertanyaan meski tahu pertanyaannya kelewat basa-basi karena Sodiq sudah melaporkan semuanya di kolom chat. Sejenak ia melirik ke arah meja Ais dan tidak menemukan pelindung tumit anti lecet yang sebelum cuti sempat ia letakkan di dekat layar komputer.

Sementara Ais menatap Ares dengan sedikit bingung. Setahunya, Ares selalu berkoordinasi dengan Sodiq juga para tim leader di sini.

"Beres semua kan?" Ares buru-buru meralat pertanyaannya.

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang