Bab 82

4.3K 638 231
                                    

Sepuluh tahun?

Pagi itu setelah mengecek tukang yang mengecat rumah dinas, Ais termenung sendirian di depan minimarket yang tidak jauh dari rumah Ares. Duduk di balik meja bundar, ditemani sebotol air mineral. Sudah lima belas menit ia duduk di sini. Ais belum berniat pulang.

Kenapa Ares berbohong kepadanya? Kenapa Ares tidak berterus terang jika pernah menjalin hubungan selama itu dengan Kirana? Sepuluh tahun itu lama, sudah seperti orang yang menikah saja.

Ais kembali mengingat kotak kondom yang pernah tidak sengaja ia temukan di kamar Ares. Detik itu juga ia tahu, Ares bukan laki-laki polos. Dan sekarang ia tahu, Ares juga berbohong. Ais menduga, kemungkinan besar Ares sudah berhubungan suami-istri dengan Kirana. Ais tahu, tidak seharusnya ia menaruh harapan pada lelaki seperti Ares. Apa yang harus ia harapkan dari lelaki yang memiliki kesamaan moral dengan Galih?

Ares dan Galih sama saja. Sama-sama pezina. Bagaimana bisa ia menerima seorang lelaki seperti itu masuk ke dalam hidupnya? Ia sudah trauma dengan Galih, yang dengan mudahnya berzina dengan wanita lain. Ais rasanya tidak sanggup, jika harus mengulang kisah serupa. Ares, sungguh berisiko bagi hidupnya yang sudah baik-baik saja.

Pembohong dan pezina. Bukankah dua hal itu sudah cukup menjadi pengingat keras baginya? Lelaki yang lihai dalam kedua hal itu, tentu lebih berisiko tenggelam dalam perselingkuhan. Rasanya Ais tidak sanggup mengulang perjalanan kisah memilukan dengan Galih.

Kenan dan Shakila hanya punya dirinya.

Ais kembali mengingat untuk apa ia bertahan tegar sejauh ini.

Selama ini ia berusaha tetap kuat hanya demi Kenan dan Shakila. Tidak ada lagi yang lain. Jika ia hancur lagi karena laki-laki, jika mentalnya berantakan lagi karena laki-laki, lantas bagaimana Kenan dan Shakila?

Ais kembali mengingat saat di suatu pagi ia emosi dan membanting peralatan dapur. Kenan berlari ketakutan dan Shakila menangis keras di teras. Saat itu ia belum bercerai dari Galih dan mengamuk seperti orang kesetanan. Ais ingat, ia mengamuk setelah memergoki perselingkuhan Galih. Saat itu Galih tentu saja tidak ada di rumah. Sejak ia memergoki Galih berselingkuh, lelaki itu sudah tidak pernah pulang.

Ia berubah jadi sosok pemarah. Kerap membentak dan berteriak dengan nada tinggi pada anak-anaknya yang tidak berdosa. Saat mereka ketakutan, ibunya selalu membawa mereka pergi keluar sebentar sampai marahnya reda.

Semua ini tidak mudah baginya. Bisa kembali memiliki emosi yang stabil, sangat tidak mudah baginya. Jika boleh memilih, Ais ingin menyerah saja. Biar hidupnya hancur, tak mengapa ia gila sendirian. Tapi bagaimana anak-anaknya? Mereka hanya punya dirinya.

"Inget anak-anakmu Ais. Kenan Shakila cuma punya kamu."

Suara Andika kembali muncul di telinganya, dan air matanya kembali berjatuhan. Ia bagai mengulang saat menangis sesenggukan di hadapan Andika. Entah berapa kali ia kelepasan menangis di hadapan Andika. Tapi lelaki itu selalu punya sejuta maklum untuknya.

Ais ingat saat ia melakukan kesalahan demi kesalahan di kantor. Saat itu rasanya susah sekali untuk fokus bekerja. Sekuat tenaga ia mencoba, tetapi pikirannya yang terpecah menimbulkan lebih banyak masalah. Saat itu ia berulang kali tidak hadir dalam sesi konseling, yang seharusnya seminggu dua kali karena kendala biaya.

"Mau aku bantuin dulu buat biaya konselingnya?"

Ais ingat saat Andika menawarkan bantuan. Dengan tegas ia menolak. Sungguh, ia tidak ingin berhutang uang.

"Ais, tolong fokus. Aku tahu masalah kamu berat. Tapi kamu harus kuat. Kamu harus kerja buat anak-anak kamu. Kalau kamu susah semangat, inget-inget Kenan Shakila. Mereka butuh kamu." Suara Andika kembali menggema.

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang