Bab 7

4.2K 422 17
                                    

Ais luar biasa heran, saat pagi itu ia melihat sekotak vitamin C yang masih tersegel di mejanya. Celingukan, Ais melihat ke kanan dan ke kiri, setiap orang tampak sibuk dengan aktivitas masing-masing. Brili tampak mencatok rambut di kubikalnya, Billy terlihat sedang menunduk, mungkin memelototi ponselnya, sementara Sodiq tampak diam dengan earphone di telinga, begitu juga staf lain yang tampak lalu lalang.

Dari siapa? Ais meraih botol vitamin C dan menggesernya ke dekat layar PC. Entah dari siapa, ia akan menanyakannya nanti.

Ais meletakkan tas ranselnya ke atas kursi dan melepas jaket dealer-nya, melipatnya kemudian meletakkannya di laci paling bawah. Di saat bersamaan meraih botol parfum 100 ml yang sengaja ia tinggal di laci mejanya, kemudian menyemprot beberapa kali pada jilbab dan tubuhnya seperti menyemprot Baygon. Aroma parfum sejenak menyegarkan udara sebelum hilang dalam tiga tarikan napas. Ais kelewat loyal menyemprot parfum seharga lima belas ribuan yang ia beli di minimarket. Aromanya lembut, tidak terlalu menusuk, dan yang penting harganya murah.

Ais meraih cermin kecil dan menjilati sejenak bibirnya yang kering. Ada yang mengelupas, Ais pelan-pelan menarik ujung kulit yang terkelupas. Bentar, pelan-pelan. Aduh, sakit! Aduh! Ais sedang berkonsentrasi mengeletek kulit kering di bibirnya.

"Ais."

Suara bariton membuat Ais mendongak, entah sejak kapan si pemilik suara sudah berdiri di depan mejanya dengan dahi berkerut.

"Eh Pak Ares." Ais mengulum cepat bibirnya, menarik sisa kulit di bibir dengan gigi. Anyir terasa sedikit, Ais sudah biasa. "Ya Pak?" Bibir Ais mengurai senyum pada Ares yang tampak tertegun memandanginya.

"Aku meeting sama Pak Nirvan." Ares berlalu tanpa menoleh lagi.

"Siap Pak...." Ais sedikit berteriak meski punggung Ares sudah menjauh.

Ah! Ais mendapat ide mengecek siapa yang menaruh vitamin itu melalui monitor CCTV di ruangan Ares. Ia mengecek sejenak berkas-berkas di atas meja yang perlu ditandatangani Ares. Terdapat beberapa berkas cuti para pegawai. Ais segera membawa berkas-berkas itu ke dalam ruangan Ares dan duduk di balik meja Ares. Ia melihat komputer dalam keadaan stand by, dan laptop Ares tertutup rapat di atas meja. Kadang para bos itu, tidak cukup bekerja hanya dengan satu perangkat. Ares terlihat lebih banyak membuat laporan dengan laptopnya daripada dengan komputer yang sudah disediakan. Padahal, laptop ini juga lebih sering Ares tinggal di kantor.

Ais segera duduk di balik meja besar yang membentuk huruf L. Kursi Ares besar dan empuk, layaknya singgasana baginda. Pantas, atasannya itu sering tertidur setelah jam makan siang. Untung Ares tidak mendengkur keras. Di belakang kursi Ares terdapat jendela kaca memanjang yang menampilkan kota Surabaya. Ruangan Ares nyaman, juga luas dengan toilet pribadi.

Ais segera menggeser kursi dan mengecek rekaman CCTV yang menyorot ke arah pintu masuk ruangan Ares. Otomatis, mejanya terlihat di sana. Ais memundurkan waktu dan melihat Agus sang pramubakti yang mengelap mejanya. Tidak lama kemudian, Ares datang. Ais luar biasa terkejut saat melihat Ares meletakkan sesuatu ke atas mejanya sebelum berlalu masuk ke dalam ruangan ini. Ais mengulang kembali rekaman barusan, ia memang tidak salah lihat.

Pak Ares? Dahinya berkerut dalam. Kenapa?

Kemarin tisu beserta kotak tisunya, dan sekarang vitamin C? Ais luar biasa heran. Ia bisa menerima alasan Ares yang tidak melihat tisu di mejanya. Tetapi kotak tisu itu dari akrilik, hitam polos, terlihat minimalis sekaligus elegan. Lalu sekarang vitamin C? Senyuman Ais lepas begitu saja. Kenapa Ares begitu perhatian?

Apa?

Ais buru-buru menepuk pelan sebelah pipinya.

Ares perhatian?

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang