Bab 73

5.6K 771 274
                                    

'Siapa yang mutasi May?'

Ais segera membalas pesan Maya. Mendadak hatinya jengkel, sungguh si Maya ini bertele-tele sekali saat hatinya sedang panik seperti sekarang.

Ais segera me-restart komputernya. Ia berharap setelah ini lalu lintas emailnya kembali lancar. Loading pada layar terus berputar. Tidak sabar Ais menekan tombol PC.

Seketika perangkat komputernya mati. Ais kembali menekan tombol PC.

"Ck!" Decihannya lolos. Ais berharap emailnya tidak macet. Komputer kembali menyala. Ais menunggu loading dengan sabar. Debaran kembali menjemput ketika emailnya kembali terbuka. Ternyata sama saja.

Astaghfirullah.

Ais kembali menyahut ponsel, belum ada balasan dari Maya. Tanpa menunggu jarum jam bergeser ia menelpon Maya. Tidak dijawab. Ais tidak punya pilihan selain menjemput sendiri surat mutasi itu ke lantai tiga. Dengan tergopoh Ais meninggalkan kursinya dan sempat mendengar nyanyian Brili yang tertinggal di belakang punggungnya.

"Ku 'kan menghilang jauh darimu... Tak terlihat sehelai rambut pun....."

Apa Ares benar-benar menghilang? Ais melengkah cepat melewati pintu kaca. Ia menekan lift dan melihat lift masih tertahan di lantai tujuh. Ais bergeser ke lift sebelah dan melihat lift masih tertahan di lantai tiga.

Astagfirullaaaaah! Ais memilih menuruni tangga. Kenapa semesta sedang tidak bisa bekerja sama? Ais membuka pintu dan sudah tiba di lorong yang akan membawanya memasuki Departemen Human Capital. Ia melewati pintu kaca dan deretan meja kubikal. Kedua matanya tertuju pada ruangan dinding kaca dengan tulisan RESTRICTED AREA di pintu.

Ais jadi teringat saat masih menjadi teller dulu, juga tertempel peringatan serupa di pintu yang menandakan jika tidak sembarang staf bisa masuk.

Memang meja Maya berada di dalam ruangan kaca khusus dan tidak boleh sembarang orang masuk ke dalam sana mengingat banyaknya dokumen penting dan sangat rahasia seperti surat mutasi.

Ais menjelang kecewa saat melihat tidak ada seorang pun di dalam sana.

"Bun?" Suara Maya yang muncul di belakang punggungnya membuat Ais segera menoleh dan menatap lega.

"May, aku telponin."

"Oh aku habis sholat Bund. Nggak bawa hape. Kenapa?"

"Emailku macet. Aku mau ngambil surat mutasi."

"Ohh..." Maya berjalan melewati Ais dan membuka pintu ruangannya. "Masuk Bun, duduk dulu."

Mengabaikan peringatan yang tertempel di pintu, Ais segera mengekor dan duduk di depan meja Maya. Ia melihat meja satunya kosong. Entah ke mana Riska, staf yang satu ruangan dengan Maya. Ais segera mengembalikan atensi pada Maya yang tampak memilah-milah amplop.

"Tumben Bun ambil sendiri? Biasanya nyuruh Mas Agus?"

"Mas Agus pas nggak ada...."

"Ini." Maya menyerahkan sebuah amplop coklat berukuran sedang.

"Makasih May. Aku balik ya." Ais tersenyum dan segera berdiri dari kursi.

"Sama-sama Bunda."

Ais bergegas membuka pintu dan melintasi meja-meja kubikal. Ia kembali melewati pintu kaca dan berhenti sejenak di lorong yang sepi. Ais merapat pada dinding, tepat di dekat APAR yang tergantung tidak jauh dari lift.

Ya Tuhan. Ais menghela napas panjang sebelum menghadapi kenyataan yang datang lebih cepat. Dengan debaran tak menentu ia membuka amplop cokelat yang tidak disegel dan menemukan amplop putih yang lebih kecil dengan logo Bank Nasional Indonesia. Ais menarik amplop itu keluar dan membaca perihal surat yang tertera pada bagian plastik bening amplop.

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang