Bab 8

4.3K 412 65
                                    

"Ares, ada anaknya temen Mama.... dosen muda Res. Kamu kapan ada waktu balik ke Jakarta? Temen Mama minta anaknya dikenalin sama kamu. Mau Mama kasih Facebook-nya nggak Res? Barangkali kamu mau liat dulu."

Ares menatap datar wajah ibunya di layar. Ia baru saja pulang kerja dan sedang duduk sendirian di depan televisi yang menyala. Hari ini badannya sedikit pegal-pegal sehingga ia memutuskan pulang tepat waktu dan hanya ingin beristirahat.

"Res?"

"Ares udah nggak ada Facebook Ma. Lagian belum tahu kapan balik ke Jakarta."

"Boleh Mama kasih nomer kamu? Boleh ya? Mama takut temen Mama tersinggung."

Ares menekan malas bibirnya. Untuk kesekian kali, ibunya menggunakan alasan tersebut meski tahu ia akan selalu merespon dengan datar deretan chat dari anak-anak teman ibunya atau keponakan teman ibunya atau siapa pun itu.

"Ya terserah Mama." Akhirnya ia menjawab.

"Kamu di sana sama siapa Res? Ada cewek yang kamu suka nggak?"

"Sendirian Ma."

"Res, apa sih yang kamu cari? Dari dulu lho, Mama nggak pernah lihat kamu sama cewek? Udahlah lupain Kirana. Kalau memang dia nggak mau sama kamu, cari yang lain lah Res. Kamu itu ganteng, sukses. Mama yakin kamu bisa dapetin cewek cakep lainnya. Ngapain kamu nunggu cewek yang nggak mau sama kamu?"

Sepuluh tahun, ia dan Kirana memang sudah saling mengenal keluarga masing-masing. Akan tetapi, pernikahan tetap jauh di matanya sehingga ibunya tidak begitu menaruh respek dengan Kirana. Ibunya bahkan sudah menghapus nomor Kirana dan mengharapkan perempuan lain yang mau ia nikahi. Situasi sudah pelik, Ares tidak pernah lagi membawa Kirana menemui ibunya sejak hubungan mereka memasuki tahun kelima.

Ares berusaha memahami ketakutan dan perasaan minder Kirana, jadi ia tidak akan memaksakan keinginannya sampai Kirana benar-benar siap. Tetapi setelah menunggu sekian tahun lamanya, Kirana tidak pernah siap.

"Ares udah pacaran lama sama Kirana. Ares udah nyaman," jawab Ares meski tidak yakin. Kenyataannya, tidak ada zona yang benar-benar nyaman dalam hubungannya dengan Kirana. Rasa nyaman itu memang ia dapatkan saat mereka sedang berdua-duaan, tetapi di luar itu posisinya masih rawan.

"Res, Mama tuh pingin liat kamu nikah, berumah tangga, bahagia. Kamu anak laki satu-satunya. Devi sama Venya udah berumah tangga masing-masing, dari mereka Mama udah punya empat cucu. Tinggal kamu yang belum."

"Ma, nikah itu kan masalah hati, bukan cuma setor cucu," sanggah Ares. "Mama tahu kan Ares susah suka sama cewek..."

"Iyaa. Kamu dari dulu memang pilih-pilih. Jangankan cewek, dalam segala hal kamu selalu mau yang terbaik. Mama akui, Kirana cantik banget. Mama ngerti kenapa kamu bisa suka banget sama dia. Tapi Ares, apa gunanya kalau dia nggak yakin nikah sama kamu? Apalagi kamu bilang, dia punya trauma. Dia belum selesai sama masalah dia, dan belum yakin nikah sama kamu. Mau sampai kapan kamu nunggu? Mama tahu kok, pasti kamu yang ngajuin pindah ke Surabaya biar bisa nyusul Kirana..."

Ares hanya membisu, seperti sebelum-sebelumnya.

"Ares, kalau kamu mau buka hati kamu, banyak kok yang secantik Kirana. Mama tahu kamu sukanya kan yang cantik-cantik... Kirana itu bukan yang paling sempurna. Kamu aja yang nggak mau buka hati. Kenapa kok kamu susah banget buka hati kamu? Nggak capek apa kamu nunggu dia?"

Ares masih membisu sambil menatap malas ibunya. Diam-diam ia memperhatikan rambut hitam jelaga ibunya. Sebenarnya rambut ibunya sudah banyak yang memutih, hanya saja ditutupi dengan semir rambut. Ares menatap riasan minimalis ibunya dan memperhatikan lipstik merah di bibir. Meski sudah tua, ibunya masih terlihat cantik. Sejak kecil, ia selalu melihat ibunya pandai merawat diri, juga pandai bersolek. Oleh karena itu, selera Ares jatuh pada wanita cantik yang pandai merawat diri seperti ibunya.

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang