Bab 28

3.8K 402 54
                                    

Malam itu Ares tidak bisa tidur hingga ia mendengar adzan subuh bersahut-sahutan. Tenggelam kacau di balik selimutnya, meratapi hati yang bagai lepas dari tempatnya.

Ares merasa kehilangan, entah kehilangan apa. Yang jelas ia merasa demikian kosong. Sekali lagi Ares mengusap pelan lelehan air matanya.

Hanya Kirana, satu-satunya perempuan yang membuatnya menangis hening seperti ini. Selalu begini, tiap kali Kirana menghancurkannya. Seperti dulu-dulu, ia akan berpura-pura tabah, menjalani hari-harinya yang sibuk dan meratapi hati yang patah di penghujung malam.

Sendirian.

Ares sudah tidak ingin menanyakannya lagi pada Kirana. Lagi pula apa yang ingin ia tanyakan? Toh di antara mereka tidak ada hubungan yang jelas. Kirana bebas memilih jalan dengan lelaki mana pun, begitu juga dirinya yang bebas mencari wanita lain. Tidak ada hubungan eksklusif di antara mereka. Namun meskipun ada, tidak akan berarti apa pun bagi Kirana. Intinya, Kirana tetap ingin bebas dan tidak ingin benar-benar terikat dengannya.

Ares memutuskan duduk dan mengusap wajah juga rambutnya. Menghela napas panjang demi menenteramkan hatinya yang sudah melewati ambang kehancuran. Kirana tidak pernah tahu, sesering apa harapannya luruh bersama air matanya. Mana boleh Kirana melihatnya cengeng?

Ares berdiri menatap wajahnya yang kuyu di cermin. Harus kepada siapa ia menumpahkan segala rasa kecewa? Terlampau sakit, tetapi terlampau malu untuk menelpon Radi. Sahabatnya itu pasti akan berkata, "Kan?"

Ares juga tidak tahu kenapa hatinya kelewat bebal. Kenapa harus keras kepala? Kenapa memilih melalui risiko yang sama berulang-ulang? Memangnya kapan ia berhasil selamat dari luka? Tapi ia hanya laki-laki yang kelewat memuja. Ia hanya mengikuti hatinya yang memilih mencintai Kirana dengan segala kelebihan dan kekurangannya.

Namun, semua itu tidak membuat Kirana berusaha membahagiakannya. Kirana semakin nyaman dengan dirinya sendiri dan tetap bermain hati dengan laki-laki lain. Semua yang ia lakukan tidak berarti apa-apa, tidak lantas membuat Kirana mengistimewakan hubungan mereka.

Ares memutuskan mengambil wudhu dan menunaikan salat Subuh. Setelah mengucap salam, ia menatap hampa sajadahnya. Tidak ada doa yang keluar dari bibirnya, hanya hembusan napas yang diiringi kedua mata menjelang perih.

Sakit, Ya Allah.

Perlahan Ares menjatuhkan keningnya dan kembali menangis. Terbayang bagaimana Kirana kemarin yang menggandeng mesra lengan lelaki lain. Mungkin Kirananya sudah melewatkan malam bersama lelaki itu. Ares yakin lelaki itu Ko Steven. Pantas Kirananya acuh dan tidak peduli. Rupanya, ia kembali tergeser dengan laki-laki lain. Seharusnya ia mudah membenci Kirana. Memang ia akan benci. Namun setelah sekian waktu ia kembali luluh dan mengulang semuanya. Selalu seperti itu dan sekarang Ares benar-benar lelah.

Cabut rasa ini ya Allah, cabut, cabut. Hamba pingin lupa. Sakit banget. cabut ya Allah. Cabut. Ares terisak kecil. Sungguh ia menangis seperti pecundang. Tolong bebaskan Hamba dari perasaan ini. Tolong Tuhan. Tolong. Tolong selamatkan hati Hamba. Tolong Tuhan. Tolong.

Ponsel yang berdering membuat tangisannya seketika terhenti. Ares mengusap air mata dan beringsut meraih ponselnya di atas tempat tidur. Ia melihat nama MAMA di layar.

"Halo?" jawabnya parau.

"Ares, sholat Nak."

"Iya Ma, sudah."

"Alhamdulillaaaah."

Seketika Ares ingin menceritakan kisah patah hatinya, tetapi bibirnya segera tertahan. Sama seperti Radi, ibunya yang sudah berbusa-busa menasihatinya pasti akan berkata, "Apa Mama bilang?"

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang