Bab 87

9K 797 579
                                    

'Res, udah WA Hasna?'

Malam itu pertanyaan ibunya kembali masuk, saat ia baru saja selesai menunaikan salat Isya. Setelah melipat sajadah, Ares duduk sendirian di sofa ruang tamunya, mengaduk kopi yang masih panas kemudian menyalakan rokok.

Mana sempat ia kepikiran wanita lain?

Ia terlalu antusias menunggu besok pagi. Besok, Ais akan membawakannya bekal. Besok, ia akan memulai aktivitas dengan menyantap bekal dari perempuan yang ia cintai. Perempuan yang ia idam-idamkan sebagai istrinya.

Kenapa rasanya udah kayak jadi suami? Cengiran Ares lepas begitu saja bersamaan dengan asap yang keluar dari rongga mulutnya.

Kira-kira besok dia bawain apa ya?

Ares lebih penasaran terhadap menu bekal Ais daripada wanita bernama Hasna itu. Rasanya ia tidak punya sedikitpun keinginan untuk mengirim pesan teks pada Hasna. Apalagi Hasna mirip seperti Dona. Memang tidak kembar identik, tapi setipe. Sampai sekarang tiap kali ibunya membahas Hasna, yang muncul di kepalanya malah Dona.

Rasanya aneh sekali, membayangkan kelak ia memiliki istri seperti Dona. Maksud Ares, ia sungguh tidak ingin. Ini bukan perasaan yang sama seperti awal-awal ia menyangkal perasaan cinta terhadap Ais. Sama sekali bukan. Maksud Ares, selain tidak tertarik, Dona juga terlihat sedikit aneh di matanya dan hal itu semakin membuatnya semakin tidak ingin menghubungi Hasna.

Memang Dona dan Hasna tidak berhubungan. Tapi entah mengapa kemiripan di antara keduanya membuat Hasna yang tidak pernah menarik di matanya semakin tidak menarik lagi. Mendengar namanya saja sudah malas. Memang bukan salah Hasna, tapi belum-belum Ares sudah ilfil tiap kali mengingat gelagat Dona yang suka senyum-senyum.

Ares sebenarnya menyadari gelagat aneh Dona yang sering senyum-senyum tidak jelas. Ares sudah lama menyadari sikap janggal itu tapi tidak pernah punya kesempatan untuk bertanya, mengapa Dona sering senyum-senyum tidak jelas saat bicara dengannya? Atau Dona juga begitu ke staf lain? Ares jadi khawatir, siapa tahu Dona mengalami gangguan pikiran dan butuh waktu untuk menemui psikolog. Tapi gara-gara ibunya yang merongrong agar menghubungi Hasna, ia jadi tidak tahan dan puncaknya tadi ia menanyakan langsung perihal sikap aneh itu saat Dona sedang menemuinya di ruangan.

"Gimana Bli Nyoman?" Tadi saat Dona meminta tanda tangannya, ia menanyakan bagaimana tim leader AMLO yang baru. Kebetulan Dona mengejarnya di jam istirahat, begitu ia kembali dari meeting. Ares melihat saat itu Ais sedang tidak ada di tempat. Biasanya jika ada Ais, para staf menyerahkan berkas di meja Ais dan Ais yang akan membawa berkas-berkas itu ke ruangannya.

"Orangnya semangat banget Pak. Kalo Pak Guntur kan kalem, kalo Bli Nyoman enggak." Dona menjawab dengan senyuman.

"Gimana buat EDD cabang-cabang? Jalan? Ada berapa laporan yang masuk?" Ares sengaja mengubah pertanyaannya menjadi lebih serius.

"Bulan ini belum ada laporan masuk Pak." Dona masih menjawab dengan senyuman.

"Udah coba tarik sample data pembukaan rekening? Atau tarik sample nasabah-nasabah high risk? Aku takut nggak jalan lagi tuh CDD sama EDD-nya."

"Baik Pak, nanti saya sampaikan ke Pak Nyoman."

Ares masih melihat senyuman di wajah Dona.

"Sori.... boleh aku nanya?" Ia tak tahan lagi meski mungkin pertanyaannya terkesan usil dan kurang sopan. Tapi mumpung mereka sedang bicara empat mata, Ares merasa ini adalah waktu yang tepat untuk mempertanyakan kebiasaan janggal Dona. Sungguh sikap Dona yang sering senyum-senyum sendiri itu juga bisa diterjemahkan tidak sopan oleh orang lain. Sebagai pimpinan, Ares merasa harus mengingatkan soal ini.

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang