Bab 48

6K 599 352
                                    

"Janda mana janda mana tuan senangi?
Janda yang putih....janda yang putih....berambut panjang.... "

Ares bersenandung sambil mengelap mobil dinasnya yang sudah kinclong. Entah sejak kapan ia jadi suka lagu dangdut koplo. Lagu Pantun Janda menggema pelan dari dalam mobil. Tapi tentu saja lagu itu tidak akan ada dalam playlist Jember-nya.

Ares bersiul sambil memeras kanebo, sebelum kembali mengelap mobil hitamnya hingga berdecit. Sisa busa sabun mengalir pelan di bawah ban mobil, berbanding terbalik dengan perasaannya yang begitu deras.

"Naik sepeda naik sepeda mati lampunya... Jalan terus jalan terus lambat sampainya.. Ada janda ada janda kabur lakinya.. Mau dilamar mau dilamar anaknya dua... " Ares sengaja mengganti sedikit lirik pada bait terakhir senandungnya.

Sejenak Ares menggeleng saat menertawakan bibirnya sendiri.

Awalnya, Ares mengira ia hanya takjub. Ternyata semakin lama kedua matanya semakin betah memandangi Ais. Ia bahkan sering menatap Ais melalui layar CCTV di mejanya. Ares rasa ia sudah gila dan tidak lagi mengenali siapa dirinya, ketika entah sudah sejak kapan ia menikmati mengintai Ais dari dalam ruangannya.

Kini Ares menyimpan jijik terhadap dirinya sendiri. Seumur-umur, ia tidak pernah memata-matai seorang perempuan seperti ini. Baru kali ini ia merasa demikian rendah karena diam-diam memantau dengan senyuman tipis di wajah. Ares juga tidak tahu kenapa bibirnya harus tersenyum seperti itu.

Dasar freak....

Ares beristirahat sejenak di teras sambil menatap mobil dinas yang baru saja dibersihkan. Ini jam sembilan malam, ia sampai lupa makan malam saking asyiknya membersihkan mobil yang besok pagi akan meluncur ke Jember untuk menghadiri meeting.

Padahal, setiap hari Januar selalu membersihkan mobilnya. Tapi kemarin saat perjalanan pulang, mendadak ia merasa parfum mobilnya kurang wangi dan keset mobilnya kurang bersih. Alih-alih mampir ke tempat pencucian mobil, Ares memilih mampir ke mall terdekat demi membeli perlengkapan mencuci mobil.

Ia membeli sabun yang paling mahal untuk mobilnya, aneka sikat, vakum, juga pewangi. Tadi ia menggosok interior mobilnya dengan sepenuh penghayatan, memvakum kursi, mengganti parfum murahan yang digantung Januar, dan menggosok body mobilnya yang sudah kinclong.

Kini mobilnya sudah seganteng dirinya. Ares menatap puas meski masih bertanya-tanya heran mengapa ia harus berlebihan seperti ini?

Rasa takut yang kian menumpuk terasa sia-sia ketika ia lagi-lagi menerjang rambu-rambu yang ia ciptakan sendiri demi memuaskan sisi hatinya yang haus akan perasaan semacam ini.

Perasaan yang mirip seperti perasaannya sepuluh tahun yang lalu, ketika ia menerjang segala risiko demi mendapatkan Kirana. Semakin menyala rambu-rambu di dalam dirinya, maka semakin ia bersikap sebaliknya demi menuruti keinginan yang kini jatuh pada Ais.

Ares benar-benar takut ketika perasaannya menjadi semakin nyata dari hari ke hari. Namun di satu sisi, ia sulit menyangkalnya. Akan tetapi ada sesuatu pada diri Ais yang membuat dunianya tertahan di sana.

Dia janda.... anaknya dua, anak laki-laki lain pula. Emang mau ngapain sama janda?

Pertanyaan itu sempat berputar-putar di kepalanya, menjelma bak rambu-rambu. Persis seperti dulu ketika rambu-rambunya mengatakan bahwa Kirana tidak setia karena berselingkuh dari pacarnya dan Kirana juga nakal karena menginginkannya padahal masih terikat hubungan dengan lelaki lain. Tentu saja ia juga tahu Kirana menganut gaya hidup bebas. Saat itu ia sudah tahu jika Kirana berdiri sambil mengibarkan bendera merah di depan matanya.

Akan tetapi, saat itu ia tidak peduli dan malah menantang bendera merah itu seperti banteng.

Saat itu ia memilih menerobos semua rambu-rambu demi menuruti keinginannya. Saat itu ia memilih memperjuangkan hatinya yang sulit dimenangkan oleh wanita mana pun. Dan begitu hatinya terseret, ia memilih hanyut sepenuhnya.

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang