Bab 81

5K 721 482
                                    

'Bro tolong tanyain Nayla dong, panci yang kualitasnya bagus sama estetik merek apa. Kalo ada link buat beli jg boleh.'

Siang itu Ares mengirim pesan pada Radi yang baru berbalas satu jam kemudian, tepat saat ia sedang meeting tim.

'Tumben lo nanya panci? Buat apaan?'

'Nanti malem gue telp. Drop dulu link-nya ya, kalo ada. Sama buat beli blender+perlengkapan dapur. Gue skrg lg meeting.'

'Ketemu yuk? Gue traktir makan.'

'Oke. Nanti WA di mana.' Ares segera menyanggupi.

Sore harinya Radi mengirimi link e-commerce langganan belanja panci Nayla. Sesuai permintaannya, Radi juga mengirimi link tempat membeli blender dan perlengkapan memasak lainnya.

Tanpa berpikir panjang, Ares langsung memesan. Namun ia sempat kebingungan di mana harus mengarahkan tempat penerimaan paket mengingat rumahnya selalu kosong di jam kerja. Jika diarahkan ke kantor, tentu saja paket-paket itu akan mengundang perhatian mengingat ia belanja begitu banyak peralatan dapur. Ares juga tidak ingin Ais menyadari jika ia baru mempersiapkan perlengkapan memasak mengingat ia mengaku sudah memiliki semuanya.

Akhirnya Ares memilih mengambil sendiri paketnya di ekspedisi. Nanti ia bisa menyuruh Januar untuk mengambil dan menaruh paket-paket belanjanya di rumah dinas.

Sesuai janjinya, malam itu ia bertemu dengan Radi yang tampak antusias mendengar ceritanya. Seperti biasa, mereka bertemu di coffee shop daerah kantornya.

"Gue nggak nyangka.... lo sampe segininya." Radi tertawa sambil geleng-geleng kepala. Ia pernah melihat sendiri betapa minimnya perlengkapan memasak di dapur Ares, yang sudah mirip seperti perlengkapan memasak anak kos. Hanya ada alat penanak nasi, panci untuk merebus air, dan teko. Selain itu, tidak ada apa pun. Dan kini, tiba-tiba Ares membeli satu set panci, blender, oven, dan beberapa perlengkapan lain. Benar-benar belanja besar.

"Ini buat Ais sama anak-anak gue," jawab Ares dengan cengiran penuh percaya diri dan otomatis mengundang gelak tawa Radi yang sampai batal menyesap rokok elektriknya. Sejenak Radi jadi teringat tentang Kirana yang tempo hari menghubungi. Tapi mendengar cerita barusan, ia memilih tidak menceritakan hal tersebut pada Ares.

Lebih baik Ares tidak pernah tahu, jika Kirana sampai mencari melalui dirinya. Seperti yang sudah-sudah, sepertinya Kirana berniat ingin kembali. Tapi kali ini Radi tidak berniat membahas Kirana. Biar saja kisah itu berlalu dan dilupakan. Sebaliknya, ia akan lebih menaruh perhatian pada perjuangan Ares untuk mendapatkan Ais.

"Kayaknya lo udah serius banget nih..." Kini Radi menyesap rokok elektriknya.

"Iya gue serius lah! Kapan gue suka perempuan nggak serius?"

"Terus... Mama gimana? Udah tahu?"

Ares menyalakan batang rokok selanjutnya saat pertanyaan barusan menyeret kembali rasa stres-nya. "Belom. Gue rasa belum waktunya."

"Why?"

"Hubungan gue sama Ais belum jelas.... apa yang mau gue kasih tahu?"

"Tapi mama udah tahu kalo lo lagi deket sama Ais?"

Ares menggeleng. "Sebenernya gue sempet mau kasih tahu, tapi nggak jadi karena mama pikir gue bercanda."

Tawa Radi nyaris menyembur. Ia sungguh bisa memahami jika Artanti menganggap pengakuan Ares sebagai bercandaan karena selama ini Ares hanya terpaku pada Kirana. Ia saja sempat tidak mengira jika Ares terpikat janda, apalagi Artanti? Baik dirinya maupun Artanti, sangat tahu bagaimana selera Ares selama ini. "Terus gimana? Paling nggak lo harus bilang lah kalo lagi deket sama janda....."

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang