Bab 72

4.4K 727 316
                                    

Jatuh cinta, tidak ada dalam rencananya.

Ais berulangkali mengingatkan dirinya akan hal itu. Tapi, bagaimana dengan Ares? Maksud Ais, bagaimana bisa saat ini ia bertindak sebagai penentu masa depan Ares?

Ais kira, surat mutasi itu akan datang kepadanya. Ternyata surat mutasi itu sedang menunggu Ares. Jika ia bertahan dengan rencananya, maka ia akan melenyapkan Ares dari hidupnya. Akan tetapi jika ia memberikan kesempatan itu, maka Ares akan tetap ada di hidupnya. Bukan hanya sebagai atasannya, tapi juga sebagai seseorang yang ingin mengenalnya lebih dekat.

Tapi apa gunanya menahan Ares, jika ia sudah tidak menginginkan pernikahan lagi? Ais sudah tidak ingin laki-laki dalam hidupnya. Setampan apa pun, sehebat apa pun. Ais hanya ingin bersama ibu dan anak-anaknya.

Ais sudah tidak ingin terjerat rindu, meski setiap malam bayangan Ares muncul dan menyelami hatinya yang ingin menyepi sendirian. Ia sudah tidak ingin memikirkan laki-laki meski sikap Ares selalu membuatnya kepikiran.

Segala dalam dirinya serba berlawanan,  membuat Ais semakin yakin bahwa sejatinya ia tidak membutuhkan laki-laki. Ais merasa laki-laki hanya serupa godaan yang akan merenggut kasih dan perhatian yang seharusnya hanya untuk Kenan dan Shakila. Lagi pula, ia sudah tidak muda. Buat apa cinta-cintaan? Mana bisa ia melihat dirinya cinta-cintaan dengan laki-laki sementara anak-anaknya sudah kehilangan seorang ayah?

Memang Ares saat ini tampak bersikap sangat baik kepada anak-anaknya. Tapi Ais tidak yakin akankah itu selamanya? Bagaimanapun juga, Kenan dan Shakila bukan darah daging Ares. Ais bertahan yakin tidak ada yang lebih kental dari darah. Akan tetapi Galih pun bisa melupakan Kenan dan Shakila. Lalu bagaimana bisa ia berharap pada laki-laki lain? Dalam hal ini Ais hanya ingin mengandalkan dirinya sendiri.

"Ais.... " Ares masih menunggu jawaban Ais.

"Maaf tapi, terserah Bapak." Ais segera mengembalikan ponsel Ares.

Ares mengernyit heran. "Maksudnya?"

"Terserah Bapak mau balik ke Jakarta atau nggak. Saya merasa bukan kapasitas saya untuk menentukan. Saya bukan siapa-siapanya Bapak dan saya nggak mau bertanggung jawab atas hidup Bapak. Kalau Bapak mau kembali ke Jakarta, silahkan Bapak jawab. Kalau Bapak mau tetap di sini, itu karena keputusan Bapak sendiri, bukan keputusan saya. Tolong jangan libatkan saya dalam hal ini Pak. Hidup saya udah berat. Saya nggak bisa mikirin nasib Bapak."

Ares tertegun saat nyaris tak percaya dengan jawaban yang baru saja ia dengar. Kamu bener-bener....

"J... jadi.... aku pergi nih?" tanya Ares sambil menahan malu. Ia sungguh tak mengira Ais akan membiarkannya pergi begitu saja. Hanya seperti ini saja?

"Maaf Pak." Ais bertahan dengan keputusannya.

Wow. Ares menghela napas berat. Sekarang apa?

"Saya minta maaf Pak. Mohon Bapak jangan marah."

"Aku nggak marah."

Huhuhu janda kejam. Ares hanya bisa meratapi nasibnya di dalam hati.  Tega amat kamu Ais. Ares sudah tidak tahu harus mengatakan apa lagi.

"Sekarang boleh saya turun Pak?"

Ares mengangguk lesu dan menoleh menatap Kenan dan Shakila yang masih tertidur pulas.

"Kenan...." Ais mengguncang pelan lutut Kenan yang segera membuka mata. "Ayo turun."

"Biar aku bantu gendong Shakila..." Ares melirik Shakila yang tidur sangat pulas.

"Nggak usah Pak, saya bisa sendiri...."

"Udahlah Ais," tukas Ares, "aku cuma bantuin gendong nggak ngajak kamu ke KUA." Ares segera membuka pintu dan menuruni mobil.

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang