Bab 41

5K 556 89
                                    

Pagi itu Ares datang lebih pagi dan tidak melihat Ais di mejanya. Sepertinya Ais belum datang. Ares langsung masuk ke ruangannya dan membuka salah satu laci meja untuk memilih dasi yang akan ia kenakan hari ini. Kebetulan, ia sedang mengenakan kemeja putih. Ares menatap sejenak beberapa dasi di laci dan pilihannya jatuh pada dasi hitam dengan motif bintik-bintik putih.

Jumat besok adalah hari terakhirnya sebelum cuti panjang selama tujuh hari. Ares segera membuka laptop, bersiap mengecek beberapa final laporan meski tidak ada cuti yang benar-benar cuti. Jika Marlo sewaktu-waktu meminta data atau laporan di grup, tetap saja ia harus memberikan respon.

"Map.... map....map...." Ares menggumam kecil saat mencari map biru yang seingatnya kemarin sore ia letakkan di atas meja. Di dalam map itu ada beberapa laporan terkait pemeriksaan yang harus ia baca dan tanda tangani sebelum dikirimkan ke kantor pusat. Tentu saja ia harus membaca ulang laporan audit para anak buahnya meski sudah membaca soft file dari laporan itu di laptop. Ares selalu membiasakan double check sebelum membubuhkan tanda tangan basah. Meski Sodiq sudah memastikan tidak ada kesalahan, Ares tetap harus memastikan kembali dengan kedua matanya sendiri.

Ares ingin menyelesaikan semua pendingan pekerjaannya hari ini sehingga Jumat besok ia bisa sedikit lebih santai dan pulang tepat waktu.

Apa ia perlu membawakan buah tangan untuk ketiga kenalannya? Pertanyaan itu terlintas di kepalanya. Ares menimbang-nimbang oleh-oleh apa yang bisa awet lebih lama.

Ah bener! Ares segera mengingat keripik-keripik yang pernah diberikan oleh Ais dan melirik sejenak ke arah CCTV. Rupanya Ais sudah datang. Ares segera memasang dasinya di depan cermin toilet sambil berencana meminta tolong kepada Ais untuk membelikan keripik dan spikoe, sekaligus menanyakan perihal map biru yang kemarin ia letakkan di atas meja.

Ia memang jarang membereskan file di meja dan hanya menumpuknya begitu saja. Biasanya Ais yang membereskan dan memilah-milah berkas di atas mejanya. Tidak jarang Ais mengingatkan dokumen-dokumen mana yang perlu ditindaklanjuti. Di kantor, Ais memang sudah seperti kalender dan alarm berjalannya. Ares akui, dalam hal pekerjaan Ais lebih teliti dan cekatan dibanding Lala.

Selesai memasang dasi, Ares membuka pintu dan mendekati Ais yang tampak sedang membelakangi meja. Ia melihat Ais sedang menata file-file di lemari kabinet.

"Ais...."

Panggilannya membuat Ais segera menoleh. "Ya Pak?"

Tatapan Ares tertahan pada manik abu-abu Ais. Tanpa sadar bibirnya membeku ketika melihat wajah Ais yang terlihat berbeda lagi. Maksud Ares, sama saja hanya saja berbeda. Eh gimana sih? Ares jadi bingung sendiri. Sejak kemarin, Ais memberikan kesan yang selalu membuat kedua matanya lebih lama menatap.

"Mata kamu.... abu?" Pertanyaan tolol yang tercetus begitu saja membuat Ais tampak sedikit bingung dengan senyuman tertahan. Ares segera didera salah tingkah saat menyadari pertanyaannya yang super tidak penting. Bukan, bukan itu yang seharusnya ia tanyakan. "Maksud aku.... mata kamu jadi abu-abu...."

Loh aku ngomong apa? Ares mengutuk lidahnya yang mendadak jadi tidak becus.

"Ini.... saya pake softlens Pak...." Ais menjawab dengan senyuman yang dipaksakan saat terselip rasa heran. Masa Ares tidak tahu soflens?

"Oh iya...iya....." Ares manggut-manggut sambil tetap memandangi manik abu-abu Ais. Sejenak ia jadi teringat cinta monyetnya saat SMP dulu, gadis keturunan Dayak yang berkulit putih dengan manik abu-abu. Konon, itu asli.

Ares tidak bermaksud menuduh Ais palsu, lagi pula softlens adalah hal yang sangat biasa untuk menunjang penampilan. Hanya saja, penampilan Ais hari ini menimbulkan desir aneh di dadanya padahal Ais dan cinta monyetnya itu tidak memiliki kemiripan.  Tapi Ares akui, softlens abu-abu itu membuat Ais terlihat begitu berbeda.

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang