Bab 39

5.3K 614 278
                                    


'Selamat pagi Pak Ares. Maaf mendadak, tapi apa saya bisa mengajukan cuti selama empat hari? Mendadak ibu saya harus ke luar kota karena ada urusan keluarga dan tidak ada yang menjaga anak-anak. Saya mohon maaf harus mendadak seperti ini Pak 🙏'

Chat Ais yang baru masuk di pagi ini, membuat dahi Ares mengernyit heran. Mendadak banget? Urusan keluarga apa sih sampe mendadak begini?

Tapi, mau bagaimana lagi? Atas dasar apa ia tidak mengizinkan Ais? Mungkin memang ada urusan keluarga yang begitu mendadak.

'Iya Ais. Nanti form cutinya menyusul. Sekarang jangan lupa input dulu di sistem kepegawaian.' Ares segera membalas sebelum bersiap-siap pergi ke kantor.

'Baik Bapak. Terima kasih Pak Ares🙏'

***

Ais masih sakit hati dan merasa perlu berdamai dengan keadaan. Untuk saat ini, ia masih belum sanggup untuk membawa wajahnya ke hadapan Ares.

Lebih baik, ia menjauh dari Ares dan menetralkan suasana hatinya yang tidak karu-karuan. Kebetulan, tadi pagi ia datang bulan. Lengkap sudah.

Ais yakin, bukan hanya hormonnya yang menjadi penyebab suasana hatinya memburuk, melainkan perkataan Ares memang benar-benar membuat hatinya amblas ke dasar jurang. Rasa malu, kecewa, sedih, marah, bercampur menjadi satu. Ais masih membenci dirinya sendiri, yang salah mengartikan sikap Ares.

Kenapa ia mengira Ares menaruh perhatian khusus kepadanya? Entah Ares homo atau bukan, entah hubungan Ares dengan wanita bernama Kirana sedang memburuk, tidak seharusnya ia mudah geer.

Kalimat demi kalimat yang kemarin meluncur dari bibir Ares begitu menyakitkan meski Ares tidak pernah bermaksud mengatakannya secara langsung. Kini Ais mengerti, penyebab Ares menaruh perhatian adalah karena hanya dirinya yang membuat lelaki itu sakit mata. Buktinya, Ares tidak bersikap seperti itu terhadap staf lainnya.

Ais rasanya ingin membuang seluruh pemberian Ares, tetapi bahan jilbab yang terasa halus di telapak tangannya membuat Ais segera mengurungkan niat tersebut. Belum tentu, ia bisa membeli sendiri jilbab semahal itu.

Untuk apa semarah ini? Ais kembali memikirkan sikapnya.

Selama ini ia yang salah sangka sendirian. Tapi yang membuatnya lebih malu lagi, bisa jadi teman-temannya yang lain beranggapan sama dengan Ares, tetapi mereka semua diam saja. Bisa jadi mereka semua juga menilai penampilannya yang berantakan dan tidak enak dilihat, tetapi hanya Ares yang melakukan tindakan nyata untuk memberitahukan kepadanya, meski dengan cara yang membuat salah paham.

"Jangan terbiasa ngeliat sesuatu yang salah, sampe kalian normalisasi hal itu." Ais mengingat arahan Ares saat mengisi meeting di area Malang. Saat itu ia ikut mendampingi Ares. "Jangan biasa cuek sama segala sesuatu yang salah. Peringatkan selagi bisa. Salah satu fungsi kita sebagai audit adalah ngingetin terus ke temen-temen cabang, supaya nggak terbiasa salah. Kalau apa-apa yang salah dibiarin, awalnya dari hal-hal kecil lama-lama merembet ke hal yang lebih besar. Lama-lama lupa sama aturan."

Ais tahu, memang tidak ada hubungannya antara penampilannya dengan arahan Ares. Akan tetapi, sepertinya, Ares sedang berupaya tidak melakukan pembiaran terhadap penampilannya yang kurang rapi. Di mata Ares, penampilannya kurang tepat sehingga lelaki itu berusaha memberitahunya meski tidak secara langsung.

Padahal jika boleh memilih, Ais lebih suka ditegur secara langsung daripada terlanjur geer dan malu seperti ini. Akan tetapi, sebaik apapun maksud Ares tetap saja ia sakit hati. Ais sungguh tidak ingin dikasihani.

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang