Bab 70

5.6K 841 373
                                    

Ais mencengkeram tas di atas pangkuan saat canggung menjangkiti. Tubuhnya sedari tadi kaku sejak ia kembali duduk di kursi penumpang, tepatnya di sebelah Ares. Sementara anak-anaknya duduk di seat belakang.

Beberapa saat yang lalu, anggap saja ia dilamar. Lalu sekarang ia seolah sudah memiliki suami baru.

Kenapa rasanya kayak.... keluarga? Ais matian-matian menekan rasa aneh yang semakin menguat. Tetapi sulit. Ares saat ini seperti laki-laki yang menggantikan Galih yang biasanya mengemudi. Ais mendapati anak-anaknya sekarang bercanda dan tertawa riang di jok belakang. Rasanya seperti dulu. Ais lupa sudah lama mereka kehilangan saat-saat seperti ini.

Ia melihat Kenan dan Shakila bagai menemukan sosok ayah baru. Sedari tadi mereka menempel terus dengan Ares sehingga membuntuti Ares yang hendak salat di musala. Kenan ingin ikut salat, tapi mengenakan celana pendek dan ia kebetulan tidak membawa stok baju ganti celana panjang. Ia sempat ingin menyeret Kenan kembali ke mejanya, tapi anaknya itu ngotot ingin ikut salat bersama Ares.

"Nggak pa-pa," ucap Ares tadi lalu mengambilkan sarung dari dalam lemari. "Kebesaran tapi nggak pa-pa deh ya?"

Ais melihat Ares memakaikan sarung pada Kenan. Shakila yang melihat ingin ikut-ikutan padahal tidak ada mukenah kecil di musala kantor.

"Nggak pa-pa Ais." Lagi-lagi Ares berucap.

Timbul gelenyar aneh bercampur haru saat ia mendengar Ares mengimami anak-anaknya salat meski tahu anak-anak itu tidak akan serius dan malah cekikikan menahan tawa di belakang punggung Ares. Ia yang merasa tidak enak memelototi sambil memberi isyarat agar anaknya diam dan bersikap khusyuk saat salat.

Tapi percuma. Kenan dan Shakila antusias sekali mengikuti Ares meski sambil bercanda. Seingat Ais, Galih belum sempat seperti ini. Galih belum sempat mengimami anak-anak mereka salat. Tapi Ares yang salatnya konon bolong-bolong, hari ini mengimami anak-anaknya salat meski mungkin salatnya jadi kurang khusyuk karena Kenan dan Shakila bandel cekikikan.

Ais bisa memaklumi antusias anak-anaknya karena selama ini tidak ada laki-laki yang menaruh perhatian kepada mereka. Setiap hari mereka menunggu kabar Galih yang jarang memberi kabar. Lalu tiba-tiba mereka melihat ada seorang lelaki yang royal dan bersikap lembut. Tentu hati polos anak-anaknya dengan mudah terseret.

Ais menoleh ke belakang dan melihat Shakila berdiri di kursi. Reflek membuatnya segera mengingatkan.

"Shakila duduk nanti jatuh." Ais menatap gemas.

"Ini Kak Kenan nakal...."

Kenan dan Shakila lanjut bercanda dan mengabaikannya.

"Kenan jangan ganggu Shakila! Nanti Shakila jatuh! Shakila duduk!" Ais rasanya sudah darah tinggi.

"Shakila...." Suara lembut Ares menyela. "Shakila cantik duduk ya? Nanti jatuh lhoo..."

Shakila langsung duduk sambil menunjukkan cengiran nakal.

"Piiiiinteeer! Shakila cantik pinter banget." Ares ringan melempar pujian dan Ais melirik datar Shakila yang menjulurkan lidah salah tingkah.

"Maaf ya Pak anak saya dari tadi ribut..." Ais melirik Ares dengan segan.

"Nggak pa-pa Ais. Keponakan aku juga begitu.... " Ares mengurai senyuman maklum.

"Payes, ini mobil debehed mahal?" Kenan tertarik bertanya.

"Iya mahal."

"Berapa harganya?" Kenan bertanya lagi.

"Kenan... nggak usah tanya-tanya harga." Ais kembali mengingatkan. Memang ia mendidik Kenan dengan mengatakan suatu barang itu mahal dan berada di luar kemampuannya agar Kenan mengerti keadaannya. Meski begitu, ia tetap berusaha memenuhi kebutuhan Kenan dengan segala kemampuannya meski bisa dikatakan jauh dari kata berlebihan. Segalanya serba cukup. Tidak kurang dan tidak lebih.

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang