Bab 63

5.4K 736 334
                                    

Jalan pagi bersama di Grand Island, menjadi satu dari sekian banyak rencana-rencana Ares untuk membangun kedekatannya dengan Ais.

Kenapa Grand Island?

"Rumahnya bagus ya Ais. Wah rumah kayak gini berapa ya?" Ares menatap rumah berpenampilan bak istana sultan yang mereka lewati.

"Nggak tahu Pak. Kayaknya sih puluhan milyar. Kenapa Pak?"

"Bagus banget. Tapi... nggak sanggup beli kalo harganya segitu."

Ares melihat Ais menatap datar rumah yang terlihat luar biasa megah dan mewah. Pilar-pilar besar terlihat jelas, belum pagar menjulang. Pokoknya, rumah-rumah mewah di sinetron tidak ada apa-apanya.

"Emang Bapak mau beli rumah di Surabaya?"

"Nggak tahu sih. Mungkin bisa buat investasi. Tapi, aku udah punya rumah di Serpong."

Jika Ares adalah burung merak, ekornya saat ini sedang mengembang untuk menarik perhatian merak betina. Konon, saat musim kawin, burung merak jantan akan memamerkan ekornya dan bertarung dengan merak jantan lainnya untuk menguasai daerah teritorial.

Tapi dalam kasusnya, Ares tidak menemukan merak jantan lainnya. Lagi pula, Ais sepertinya juga bukan tipe wanita yang merespon banyak pria. Di mata Ares, Ais seperti tidak punya waktu untuk memikirkan pria. Meski begitu, tetap saja ia harus memilih waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.

Anggap saja hari ini mereka kencan di Sabtu pagi. Karena Ais sepertinya tidak kuat jogging, maka ia mengajak Ais jalan sehat saja supaya mereka punya banyak waktu untuk mengobrol sambil menikmati udara pagi hari.

"Oooo Bapak udah punya rumah di Serpong?"

"Iya Ais. Aku punya rumah sama satu unit apartemen di Jaksel. Yang rumah alhamdulillah cicilannya udah lunas. Kalo yang jaksel, udah lama lunas."

"Ooo..." Ais manggut-manggut.

"Udah lega lunas, soalnya angsurannya tiap bulan dua digit. Kalo lagi ada duit lebih, aku tutup sebagian, aku perkecil angsurannya gitu terus." Ares menyungging senyuman kecil. Jika Ia adalah burung merak, saat ini ia sedang memamerkan keindahan ekornya. "Ya rumah aku nggak sebagus rumah tadi Ais. Tapi full furnished, dua lantai, ada carport, terus ada halaman depan sama halaman belakang. Dapurnya baru saja aku renovasi. Ada toilet tamu sendiri, terus aku juga punya toilet buat keluarga yang aku renov mirip kayak toilet hotel bintang lima."

Ares melihat tampang melongo Ais saat mendengar penjelasannya yang saat itu menjelma bak marketing property.

"Sebenernya aku punya rumah satu lagi. Itu dulunya rumah buat kumpul keluarga, tapi diwarisin ke aku." Ares tersenyum samar saat melihat tampang Ais yang terlihat takjub. "Di jalan Potlot. Ada lapangan tenes sama kolam renangnya. Biasanya semua keluarga aku ngumpul di sana. Selain lapangan tenes, juga ada lapangan rumput biasanya buat main bola sama main frisbee."

"Frisbee?" Ais tampak asing dengan istilah barusan.

"Lempar cakram Ais. Yang bentuknya kayak piring tapi dilempar gini..." Ares memberikan contoh dengan gerakan tangannya dan membuat Ais mengangguk-angguk. "Tiap ngumpul aku sama saudara-saudara aku main frisbee di situ."

Ares melihat bibir Ais yang semakin menganga. Lucunya, Ais adalah perempuan pertama yang ia ceritakan jika rumah di jalan Potlot itu merupakan rumah yang diwariskan kepadanya. Dalam hal ini, ia melanggar nasihat ayahnya jika jangan menceritakan soal aset keluarga kepada perempuan selain calon istrinya. Tapi rumah itu sudah menjadi aset pribadinya dan Ares menganggap Ais adalah calon istrinya.

Lagi pula, Ais sungguh tampak sangat calon istri sekali. Maksud Ares, Ais memiliki kualifikasi itu. Cantik, sholehah, dan pandai mengurus rumah tangga. Pria mana yang akan ragu dengan wanita seperti ini?

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang