Bab 83

4.7K 767 394
                                    


"Gimana Res? Cantik kan Hasna?"

Begitu memasuki mobil, Artanti melempar pertanyaan pada Ares yang duduk di sebelah supir.

"Cantik nggak?" Artanti mengejar jawaban Ares yang lebih banyak diam. Mungkin Ares masih terkejut mengingat ia tidak memberitahukan soal rencana makan siang tadi. Sepanjang mereka makan bersama, Ares juga hanya makan sedikit dan tampak tidak terlalu berselera. Meski begitu, Ares masih bisa membawa diri dengan baik di hadapan keluarga Hasna. Artanti tertegun saat baru mengecek ponsel dan melihat rentetan chat berisi ungkapan protes Ares.

Ares Anakku 👦
Ma apaan sih!

Bohongin Ares 😠

Marah ah!

Males😡

"Res..  "

"Nggak mau!" Ares menggeleng.

"Nggak mau kenapa? Dia cantik, putih, imut, dokter lagi! Kurang apa?"

Ares menghembuskan napas berat. Saat melihat Hasna tadi ia segera teringat pada Dona. Sungguh Hasna ini tipe-tipe seperti Dona. Memang cantik, tapi tidak menyeret minatnya yang terlanjur tertahan pada Ais. "Nggak suka.... "

"Dokter lho Res.... "

"Terus kenapa Ma?"

"Ya serasi dong sama kamu yang dept head.... "

"Kata Mama mau istri yang bisa ngurus toko Batik?" Ares melirik sekilas pada ibunya yang duduk di seat belakang. "Dokter sibuk Ma. Mana sempat dia ngurus toko."

"Ya itu bisa dipikirin nanti. Toko batik gampang Res, yang penting buat Mama itu kamu dulu. "Artanti mencoba membujuk Ares. "Kamu liat dong gimana Hasna tadi. Coba kenalan dulu, siapa tahu cocok."

"Aku nggak mau bikin Hasna berharap Ma."

"Res, Hasna itu juga banyak yang mau kali. Masa perempuan kayak dia nggak milih-milih? Makanya coba kenalan dulu ya? Jangan belum-belum udah nolak gitu deh. Kenalan aja kan nggak pa-pa Res." Artanti masih gigih berusaha membujuk Ares. Ia belum lupa, bagaimana tadi saat Hasna menatap Ares. Sepanjang makan bersama, Hasna terlihat malu saat mencuri-curi pandang pada Ares.

Sementara Ares hanya menanggapi dengan jawaban bisu. Ia tidak ingin berdebat di depan supir.  

                                                                                                             ***

'Mbak Ais, ini nomor aku Kirana....'

Siang itu Ais baru saja selesai menyuapi Kenan dan Shakila saat mendapati chat masuk dari nomor asing. Akhirnya, ia memiliki nomor Kirana. Entah mengapa, Ais tidak sanggup menolak saat Kirana meminta nomornya. Wanita itu bahkan terang-terangan meminta bantuannya untuk menjembatani komunikasi dengan Ares.

"Maaf Mbak, saya nggak berani." Ais ingat saat mengemukakan alasan. "Saya nggak berani ngurusin soal asmara Pak Ares, saya takut." Ais menunjukkan sikap yang seharusnya. Bukankah wajar jika anak buah sepertinya tidak ingin tenggelam rumit mengurusi perkara yang bukan urusannya?

"Oh enggak Mbak, tolong jangan salah paham. Aku cuma nanya aja Ares lagi ngapain... ya gitu-gitu aja. Soalnya dia menghindari aku. Boleh ya aku minta nomor Mbak?"

Ais dengan sadar menenggelamkan dirinya dalam masalah ketika merasa tidak enak menolak permintaan Kirana. Tapi sebenarnya bukan hanya itu. Ais akui, mendadak kemarin ia penasaran sehingga memberikan nomornya. Ia ingin menjauhi masalah, tapi entah mengapa rasa penasaran yang begitu besar membuatnya mengambil sikap yang berbeda. Bagai tersihir, seperti ada magnet di sana,yang seolah-olah akan membuka seluruh tabir seorang Ares.

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang