Bab 66

4.1K 676 299
                                    

Senin pagi yang terasa mencekam. Ais sengaja datang mendekati waktu briefing demi menunda interaksi canggung dengan Ares. Kemarin Ares tidak membalas pesannya dan Ais menduga lelaki itu masih marah. Pagi itu tepat jam 07.20 seluruh staf sudah menyeret kursi keluar dari meja masing-masing bersiap memulai briefing pagi. Namun Ais tidak melihat Ares.

"Bund, Bapak mana?" Guntur mendekatinnya yang sudah duduk di dekat meja Sodiq.

"Nggak tahu. Nggak ngasih kabar." Ais mengecek kolom chat-nya. Ia melihat pesan terakhir masih chat-nya kemarin yang salah kirim.

"Lho? Nggak ngabarin kamu? Tumben?" Sodiq yang masih duduk di balik mejanya menatap heran. Tidak biasanya, tadi pagi Ares mengirim pesan jika datang sedikit terlambat karena merasa pusing. Kini keheranannya semakin bertambah. "Kan kamu sekretarisnya? Masa nggak dikabarin?"

"Enggak...."

"Tadi pagi Pak Ares WA aku, katanya telat soalnya pusing. Nggak biasanya dia WA aku kalo telat...." Sodiq meneliti wajah datar Ais. Adakah sesuatu di sana?

"Ooooo iya Pak." Hanya itu yang bisa Ais katakan. Dia masih marah. Ais segera menyimpulkan. Mungkin saking marahnya, Ares sudah tidak sudi berkirim pesan dengannya. Ais semakin yakin SK Mutasi yang ia takutkan akan segera turun dalam waktu dekat.

Selesai briefing, Ais segera mengecek email masuk di komputernya. Apa ada SK Mutasi? Biasanya sebelum SK Mutasi diberikan, salinan SK yang berupa soft file akan dikirim lebih dulu melalui email. Tapi sejak tadi, Ais tidak melihat email SK Mutasi. Apa jangan-jangan langsung ke email Bapaknya? Ais bisa saja membuka email Ares seperti biasanya. Tapi untuk saat ini, Ais memilih menahan dirinya mengingat situasinya dengan Ares juga sedang tidak baik-baik saja.

Merasa tidak sabar, Ais berinisiatif mencari tahu melalui Maya, staf yang kebetulan berada di departemen Human Capital. Kebetulan, Maya yang bertugas mengurusi perihal mutasi pegawai.

'May, sori ganggu. Cuma mau nanya. Buat departement risk apa ada info bakal ada yang dimutasi?' Ais segera mengirim pesan.

Tidak lama kemudian pesannya segera berbalas. 'Nggak ada tuh Bun. Kenapa? Ada yang mau dimutasi?'

'Ya kali aja ada.'

'Nggak ada Bund.'

'Kalo ada, sebelum kirim email tolong info ya. Mau aku amanin email-nya biar nggak jadi gosip.' Ais sengaja membuat alasan. Padahal, siapa juga yang mau menggosip perihal mutasi kecuali mutasi manajer karena ini menyangkut kepentingan orang banyak. Misal jika Sodiq mutasi, pasti Ares dan yang lain akan merasa kehilangan joki andalan untuk mengerjakan e-learning. Saat mengerjakan e-learning yang terakhir saja, tidak ada yang berjuang untuk uang seratus ribu yang dijanjikan Ares. Para staf di sini lebih suka menunggu kunci jawaban dari Sodiq.

'Oke.'

'Makasih May.'

Ais menghembuskan napas berat. Tetap saja hatinya belum lega. Ia masih merasa cemas dengan kemungkinan surat mutasi itu. Ais melirik jam dinding. Mumpung Ares belum datang, ia akan mencoba menghubungi Andika. Kemarin ia sudah tidak mood menghubungi Andika untuk menceritakan masalahnya. Gara-gara salah kirim, pikirannya jadi lebih kacau lagi. Wajah Ares yang sedang kecewa selalu membayang di pelupuk mata. Dalam pandangan matanya, Ares kini tampak demikian mengerikan mengingat nasibnya semudah tanda tangan Ares di surat mutasi.

Ais merasa perlu menyendiri sejenak, agar tidak terusik oleh aneka gangguan yang bisa datang sewaktu-waktu ke mejanya. Ia memutuskan menyepi di ruang meeting, mumpung belum digunakan. Suasana hatinya kian buruk saat mengingat nanti akan ada meeting tim. Ais belum lupa, Ares memintanya untuk aktif terlibat dalam meeting tim.

POINT OF VIEW [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang