***
Ola sontak kembali terhenti begitu ada yang mencekal pergelangan tangan kirinya yang ternyata adalah Nayya pelakunya.
Sejenak ia sempat menatap gelang yang dipakai Nayya itu, mengingatkannya kepada sosok yang mencelakai maminya. Sampai sekarang pelaku itu masih berkeliaran di luar sana.
“Nayy, please biarin gue sendiri dulu,” mohonnya karena ia memang benar-benar butuh waktu untuk sendiri.
“Ya, udah jangan terlarut, ya?”
Nayya pun akhirnya berbalik melangkah pergi meninggalkan Ola yang masih mencurigai Nayya. Saat akan kembali melangkah, tiba-tiba saja adik kelas yang menyebarkan isi diarynya di papan informasi terlihat tak jauh darinya.
“Dek,” panggilnya.
Setidaknya ia coba saja mencari tahunya. Meski pelakunya sudah ketemu, yaitu Via, tetapi Via selalu membantah bahwa bukan dia yang melakukannya.
“Ke–anapa, Kak?” tanya adik kelas itu gugup.
“Nggak usah takut. Santai aja. Gue cuman mau nanya. Apa benar Via yang nyuruh lo nyebarin isi diary gue?”
“Iya, Kak.”
Ucapan adik kelas itu membuat Ola mengangguk, tetapi seketika kembali menoleh menatap adik kelas itu begitu ucapannya ternyata berlanjut.
“Tapi, sebenarnya gue juga nggak tau, Kak. Gue cuman dapat chat dari nomor yang nggak dikenal atas nama Kak Via. Karena dapat transferan banyak akhirnya gue nurut dan pas lama-lama gue jadi takut makanya gue nyuruh kak Via ke ruang jurnalistik buat ngasih uangnya secara langsung, tetapi pas itu Kak Via kayak kebingungan seolah-olah bukan dia yang chat gue.”
Ola terdiam cukup lama. Ia berpikir jika bukan Via, lalu siapa?
“Masih ada chat nya?” tanyanya.
“Udah nggak ada, Kak, tapi gue sempat tangkap layar karena mana tau berguna buat nantinya.”
Terlihat adik kelas itu mengontak-antik ponselnya sebentar lalu memperlihatkan gambar berisi chat sosok itu.
Dirinya terdiam bukan karena isi chat itu melainkan karena cara pengetikannya sama dengan Nayya.
“Oke, thanks, ya.”
Ola mengembuskan napas panjang begitu ia kembali sendirian. Apa Nayya? Tidak mungkin! Ia tahu betul Nayya. Nayya sahabat terbaiknya.
***
Ola melemparkan tasnya secara asal lalu duduk di kursi belajar dengan kepalanya ia sadarkan di kepala kursi.
Saat akan menutup kedua netranya tanpa sengaja ia kembali melihat buku bersampul biru yang tergeletak saja di atas meja belajarnya.
Itu buku diary yang belum sempat dirinya baca. Merasa tidak mood ia lebih memilih menutup matanya, tetapi kembali terbuka dengan langsung mengambil buku diary itu. Ia begitu penasaran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Antagonis! [COMPLETED]
Teen FictionHari sebelumnya yang dirasakan Ola serasa beda ketika pertama kalinya ia terbangun dari pingsannya sehabis mendonorkan darah. Bagaimana tidak? Ia yang biasanya selalu mendapatkan kasih sayang oleh orang sekitarnya mulai menghilang. Keluarga yang me...