⋅•⋅⊰∙∘☽༓☾∘∙⊱⋅•⋅
Malam itu, di pinggir hutan dekat pemukiman penduduk. Suasana tampak sepi dan gelap. Cahaya malam itu hanya mengandalkan obor di rumah-rumah kayu milik warga. Tak ada sinar rembulan yang biasanya menerangi malam. Langit kelam bersih tanpa awan. Yang terlihat hanya beberapa bintang yang bertaburan.
Perlahan kedua mata sayu itu terbuka, menunjukkan manik abu-abu yang indah di balik kelopaknya.
Aeris bangkit untuk duduk. Darah merembes dari luka tembak di dadanya. Wanita itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sebuah tempat yang tidak ia kenali. Seperti desa primitif di zaman kerajaan.
Dalam hati, Aeris bertanya-tanya tentang bagaimana bisa dirinya tiba di tempat itu? Sementara sebelumnya ia berada di jembatan kota.
Tak ingin ambil pusing, Aeris pun bangkit dan berjalan terhuyung menuju ke dalam hutan. Ia tak ingin dilihat oleh siapa pun, termasuk warga lokal.
Di bawah pohon rindang, Aeris membuka bajunya. Ada banyak luka baru dan luka lama di sekujur tubuhnya. Hanya saja luka tembakan yang ia dapatkan jauh lebih genting dibanding luka lainnya.
Dalam kegelapan malam, Aeris bisa melihat beberapa tanaman yang tumbuh dekat akar pohon. Wanita itu memetik beberapa lembar daun dari tanaman tersebut, lalu mengunyahnya. Sepah dari tanaman itu diletakkan di bagian luka tembak pada dada dan lengannya.
Aeris mulai menghitung sampai 30. Setelah itu, ia mengeluarkan pinset dari saku celananya, lalu memanaskan ujung pinset tersebut menggunakan pemantik api yang selalu ia bawa.
Setelah itu, Aeris mengeluarkan peluru yang bersarang di dada dan lengannya menggunakan pinset. Meski ekspresi Aeris menunjukkan ketenangan, sebenarnya luka itu sangatlah menyakitkan dan sempat membuatnya pingsan beberapa jam yang lalu.
Namun, ekspresi tenang Aeris menunjukkan bahwa ia sudah terbiasa dengan luka tersebut. Dan itu bukanlah masalah baginya. Dua peluru berhasil dikeluarkan. Aeris menghela napas panjang.
Dalam kegelapan, Aeris mencari tanaman obat yang bisa ia gunakan untuk menutupi lukanya. Setelah menemukan tanaman yang ia butuhkan, Aeris segera memetik beberapa lembar daun dan menutupi lukanya menggunakan daun utuh tersebut.
"Membutuhkan waktu sekitar 2 jam," gumam Aeris. "Mustahil jika harus menghitung secara manual."
Aeris merogoh saku jaketnya untuk mengeluarkan ponsel. Alis wanita itu mengernyit kala melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 17.25. Padahal saat ini kemungkinan pukul 11 malam. Ia menunggu beberapa saat, tetapi menit jam di ponselnya tak bertambah, tetap saja pukul 17.25.
"Sepertinya ada yang salah dengan ponselku," gumam Aeris. Wanita itu menatap ke sekeliling. Ia melihat bendera yang berkibar di kejauhan. Bendera kuno pada zaman Kekaisaran Terra, Bendera Agung Terra.
Seketika ingatan Aeris kembali berputar di mana Grace berhasil menembaknya di lengan, lalu di dada, dan tembakan ketiga Grace mengenai guci yang terikat pada pohon tua raksasa. Guci itu pecah dan mengeluarkan pasir hitam dalam jumlah besar dan menenggelamkannya. Semuanya pun menjadi gelap.
"Tahun 775 Karellus, di bagian selatan Terra, wilayah Selatan," ucap Aeris yang langsung memahami situasi dalam waktu yang cukup singkat.
Di saat sibuk memutar otak, tiba-tiba Aeris mendengar suara teriakan anak kecil dari salah satu rumah penduduk. Ia pun memakai kembali bajunya, lalu bangkit untuk berdiri. Wanita itu bergegas menuju ke rumah itu meski kondisi tubuhnya belum pulih.
Aeris melewati sumur di dekat rumah warga. Ia melemparkan peluru yang berhasil ia ambil dari tubuhnya ke dalam sumur.
Kini, Aeris semakin dekat dengan rumah yang di mana sumber suara teriakan bocah muncul tadi. Aeris menggenggam gagang pedangnya dengan erat. Wanita itu mengendap dan menyelinap masuk lewat jendela yang terbuka.
Di dalam rumah, terlihat seorang pria yang mencambuk istri dan anak perempuannya dengan kejam. "Dasar tak berguna!" hardik pria itu.
Ketukan pada dinding kayu membuat perhatian si pria teralihkan. Ternyata Aeris yang berdiri di depan pintu yang terbuka lebar. Wanita itu mengetuk-ngetuk kusen pintu dengan gagang pedangnya.
"Siapa kau?!" bentak si pria.
Aeris menyahut, "Malaikat maut."
Si pria menautkan alisnya, lalu mengarahkan cambukan pada Aeris.
Aeris memindai sidik jarinya pada pemindai di gagang pedang. Mata pedang mencuat keluar dari gagangnya. Tangan wanita itu bergerak cepat memotong tali cambuk yang mengarah padanya hingga beberapa bagian.
Si pria melongo melihat potongan tali cambuk yang berjatuhan ke lantai. Ia semakin marah dan menyerang Aeris. "Jalang sialan!"
Aeris menendang perut si pria hingga terjungkal ke atas meja sampai meja tersebut roboh. Aeris mendekat, lalu menginjak leher si pria hingga tulang lehernya patah. Pria itu pun tewas seketika di hadapan istri dan anaknya yang sering ia siksa.
Si istri dan si anak syok dan ketakutan melihat apa yang dilakukan Aeris pada si kepala keluarga.
Aeris memindai kembali sidik jarinya. Mata pedang kembali masuk ke dalam gagangnya. Tanpa mengatakan apa pun, Aeris berbalik untuk pergi, tetapi langkahnya terhenti. Tubuh Aeris terlihat lunglai, kemudian tersungkur jatuh ke lantai kayu. Darah segar menetes dari luka di dadanya dan membasahi lantai.
Si ibu dan si anak saling pandang.
Ayam berkokok menandakan hari sudah pagi. Warga Terra bagian selatan mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing pagi itu.
Perlahan kedua mata Aeris terbuka. Ia mendapati dirinya berada di sebuah kamar. Wanita itu tidak memakai sehelai benang pun saat ini. Hanya ada kain tipis yang menyelimuti tubuhnya. Tangan Aeris bergerak menyentuh luka di dadanya. Ternyata sudah dililit kain. Sama halnya dengan luka di lengan.
Tidak hanya luka tembakan di dada dan di lengan, beberapa luka sayatan dan luka memar di tubuhnya juga diobati.
"Polisi wanita itu lumayan juga. Dia mampu membuatku berada dalam kondisi seperti ini. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku berada di kondisi seperti ini," batin Aeris.
Terdengar suara pintu dibuka dari luar yang membuat perhatian Aeris teralihkan ke pintu. Ternyata anak perempuan yang semalam.
Gadis kecil itu terkejut melihat Aeris yang sedang melihat padanya saat ini. "Oh? Aku pikir kau belum bangun." Ia kembali menutup pintu, lalu mengetuknya. "Bolehkah aku masuk?" tanyanya dari luar ruangan.
"Ya," sahut Aeris.
Si gadis kecil membuka pintu, lalu masuk. "Aku membawa roti." Ia meletakkan roti yang dibawanya ke meja di samping ranjang.
Aeris tak merespon. Ia menatap jendela kayu yang berada di sampingnya.
"Namaku Anna, ibuku Brenda," ucap si anak perempuan.
Aeris kembali menatap pada Anna. "Ibumu yang mengobatiku?" tanyanya.
Anna mengangguk. "I-iya."
Aeris kembali bertanya, "Di mana baju dan barang-barangku?"
"Bajumu dicuci, sementara barang-barangmu yang terlihat berbahaya itu disimpan dalam laci ini." Anna menunjuk laci meja di samping ranjang.
"Malaikat Maut, kalau kau mau berpakaian, kau bisa memilihnya di lemari," kata Anna dengan pandangan tertuju ke lemari.
Aeris menghela napas panjang karena bocah itu memanggilnya "Malaikat Maut". Itu karena semalam, Aeris memang memperkenalkan dirinya sebagai "Malaikat Maut" pada ayah dari si bocah.
⋅•⋅⊰∙∘☽༓☾∘∙⊱⋅•⋅
09.41 | 02 Desember 2018
By ucu_irna_marhamahFollow Instagram :
@ucu_irna_marhamah
@novellova
@artlovae
KAMU SEDANG MEMBACA
Para Penjelajah Waktu di Kekaisaran Terra
Science Fiction∘⋅•⋅⊰∙∘☽༓☾∘∙⊱⋅•⋅ "Para Penjelajah Waktu di Kekaisaran Terra" Penulis : Ucu Irna Marhamah ⋅•⋅⊰∙∘☽༓☾∘∙⊱⋅•⋅ Di abad ke-21, novel dengan genre action-thriller sangat populer. Para penulis banyak yang banting setir ke genre tersebut demi mengejar pasar...