42. Air punya memori

145 20 0
                                    

Deru napas pendek-pendek cukup menggambarkan keadaan Joshua sekarang, begitu diberi kabar tentang keadaan Jeonghan ia langsung berlari dari lobi bagian depan menuju bagian gawat darurat. Sebetulnya ia tak tahu harus bertindak seperti apa, namun yang jelas ia ingin melihat Jeonghan saja untuk saat ini.

Belum lagi rasa khawatirnya hilang, pintu ruang gawat darurat terbuka dengan tiga brankar keluar dari dalam sana di mana dua di antaranya berisi orang dengan kain putih yang penuh dengan bercak darah di atasnya sementara yang satu lagi keadaannya kritis.

Setelah itu barulah Joshua baru bisa menjumpai Jeonghan di antara sekumpulan orang. Pakaiannya kotor karena noda darah, tangannya gemetar dengan raut wajah pucat. Cepat-cepat Joshua menghampiri rekannya itu. Begitu Joshua datang barulah Jeonghan meraung, ia jatuh terduduk dengan air mata tak terbendung.

"O-or-orang tuaku Josh," Jeonghan bicara tergagap, ia begitu syok, "a-aku t-t-tidak bisa menyelamatkan mereka. Josh, a-aku."

Melihat keadaan Jeonghan yang benar-benar kacau Joshua lantas merunduk, menyamakan tinggi mereka dan menepuk bahu Jeonghan untuk memberi kekuatan.

"Tenanglah, tenang. Itu bukan salahmu," Joshua berkata lembut, bermaksud menghibur Jeonghan.

Kemudian Jeonghan bangkit ketika melihat salah satu dosennya yang merupakan kepala rumah sakit keluar dari ruang operasi sambil berbicara cepat kepada para perawat untuk membawakan apa yang ia pinta.

"Ssaem!" Jeonghan berseru, dengan tungkainya yang lemas ia memaksanakan diri bergerak, "tolong! Tolong selamatkan adikku. Orang tuaku tidak selamat karena aku, tolong selamatkan adikku."

"Kami akan berusaha Yoon, tenangkan dirimu."

"Pak, pendarahannya semakin banyak."

Orang yang dipanggil dengan sebutan dokter itu segera masuk kembali ke ruang operasi setelah beberapa perawat membawakan barang yang ia minta.

Joshua berdiri di sebelah Jeonghan, menenangkan temannya yang terus gusar dan menyalahkan diri sendiri. Siapa yang tahu kalau praktik lapangan perdana Jeonghan adalah menghadapi keluarganya sendiri yang kritis karena kecelakaan mobil. Padahal ibunya bilang akan datang untuk memberi semangat atas praktik yang dilakukan Jeonghan, tetapi mengapa mereka malah datang dalam posisi pasien? Ditambah Jeonghan yang amatir ini malah tidak bisa menyelamatkan nyawa kedua orang tuanya, ia semakin gila.

"Aku tidak pantas menjadi dokter."

Mendengar perkataan asal dari Jeonghan membuat Joshua mendelik.

"Kau tidak boleh berkata seperti itu," balas Joshua.

"Aku bodoh, aku lalai, aku..." Jeonghan bergumam sendiri, dalam frustasinya ia tiba-tiba menghantamkan kepalanya ke dinding, beruntung Joshua ada di sana dan bisa mencegah Jeonghan untuk mengulangi perbuatannya yang bisa melukai diri sendiri.

Pintu ruang operasi terbuka. Orang yang Jeonghan panggil sebagain 'ssaem' keluar lebih dahulu dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Dengan cepat Jeonghan melangkah mendekat untuk mengetahui apa yang terjadi. Alih-alih mendengar jawaban, dengan mata kepalanya sendiri Jeonghan melihat tubuh kaku saudara perempuannya perlahan ditutupi oleh kain putih.

Sekali lagi Jeonghan harus merasakan pilu teramat sakit, ia jatuh terduduk. Berbeda dari reaksinya saat melihat jasad kedua orang tuanya, kini Jeonghan malah tidak bisa berekspresi apa-apa selain termenung dengan tatapan kosong. Bahkan begitu brankar tempat di mana adiknya ditempatkan keluar dari ruang operasi melewati dirinya yang terpaku Jeonghan sama sekali tak bergeming.

"Maafkan aku."

Joshua kasihan pada Jeonghan, tentu. Siapa yang tidak terpukul kehilangan tiga orang terkasih sekaligus. Sebab itu Joshua berupaya menjaga Jeonghan yang terus mengurung diri seminggu penuh di rumah sewanya.

✔Even If The World Ends Tomorrow [SEVENTEEN] Selesai Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang