Gadis kepala desa yang memperkenalkan diri sebagai Gyuri itu sebetulnya tidak memaksa tim ekspedisi untuk memberikan barang yang telah mereka kumpulkan agar diberikan padanya. Ia hanya minta satu barang saja, kendati demikian barang ia yang ia pinta tetaplah barang penting yang sudah susah payah didapatkan.
Seungkwan dan Joshua melengos, menolak keras permintaan Gyuri. Siapa yang dikejar tumbuhan pemakan manusia sampai pingsan dua kali saat akan memetik bunga itu? Kalau dia butuh seharusnya dia berangkat sendiri.
"Orang-orang di desaku sudah pernah mencoba pergi, tetapi di jalan mereka malah dihadang oleh orang-orang jahat yang menyerang mereka dari udara. Untung saja ada seseorang yang membantu mereka saat itu."
"Seseorang?" Soonyoung penasaran, rasanya tak ada banyak orang yang mereka temui selama perjalanan. Hanya komplotan penjahat, bahkan mereka sama sekali tak mengira akan ada kawasan penduduk yang mendiami salah satu pulau. Biasanya kan hanya monster.
Gyuri mengangguk, memutar memori beberapa hari yang lalu. "Seseorang dengan sayap besar di punggungnya."
Jeonghan tersentak, "seperti sayap unggas?"
Anggukan dari Gyuri membuat mata Jeonghan berbinar.
"Kalian mengenalnya?" tanya Gyuri heran.
"Kami kehilangan teman kami beberapa hari yang lalu karena kapal kami diserang oleh kraken. Itu bisa jadi dia karena ciri-cirinya mirip." Jihoon yang menjabarkan.
"Di mana dia sekarang?" tanya Jeonghan setelahnya.
Melihat peluang, Gyuri tersenyum simpul.
"Berikan dulu bunganya baru akan kutunjukkan keberadaan teman kalian itu."
Joshua tidak tahan untuk tidak mengeluarkan kekuatannya, ia langsung dipelototi oleh Jeonghan.
"Bukannya kami tidak mau memberikannya, tetapi kami juga membutuhkan benda itu agar bisa keluar dari samudra ini."
Seungcheol berusaha bernegosiasi. Meski pada kenyataannya mereka memiliki dua bunga tersisa, ia tak mau mengambil keputusan sendiri langsung menyerahkan bunga yang ada tanpa memikirkan perasaan anggota lain. Cukup ketika di pulau ketiga saja ia mengambil langkah sendiri tanpa persetujuan.
Tampak si kepala desa kemudian diam, ia menunduk agak lama untuk berpikir sebelum akhirnya berdiri.
"Kalian ingin keluar dari samudra ini kan?" tanyanya.
Tentu pertanyaan itu diangguki oleh seluruh tim.
"Akan kutunjukkan sesuatu."
Tanpa aba-aba tanah di sekitar mereka bergetar. Gyuri yang melakukannya, bisa dinilai kalau gadis itu memiliki kekuatan pengendalian terhadap tanah. Nama pulau ini pun 'Terra' yang lekat dengan makna bumi.
Tak perlu bergerak banyak, orang-orang itu hanya perlu berpegangan pada tempat duduk masing-masing sebelum akhirnya jendela rumah terbuka sendiri dan menunjukkan pemandangan yang rasanya berbeda dari apa yang mereka lihat pertama kali. Gyuri memindahkan lokasi mereka sampai di dekat puncak gunung.
Suasana sekitar berubah drastis. Lereng gunung terjal langsung terpampang di depan mata dengan jejak krikil tajam berserak di setiap bagiannya.
"Kemarilah."
Intruksi dari Gyuri langsung dituruti oleh yang lain. Mereka semua keluar dari rumah, menutup mata begitu angin membawa partikel debu terbang ke arah mereka.
Langkah Gyuri cepat memimpin jalan, segera Seungcheol mengikuti dengan beberapa anggota yang serentak naik. Seungkwan bergidik ngeri saat kepalanya menoleh ke belakang, jalur pendakian terjal ada di bawah mereka, salah mengambil injakan sama saja mengantarkan nyawa mereka sendiri kepada malaikat maut.
Begitu sampai di titik tertinggi, mereka langsung di hadapkan dengan cekungan besar yang seluruh permukaannya di isi dengan berbagai macam tumbuhan serta danau kecil di bagian tengah.
"Barang yang harus kalian ambil dari pulau ini adalah lahar dingin kan?" Gyuri bersuara, memastikan tebakannya benar. Bertahun-tahun belajar dari buku yang ditulis leluhur rasanya ia tak salah berkata.
Tak ada yang bisa langsung menjawab, mereka terlebih dahulu terpana melihat pemandangan yang tersaji di depan mata. Sebuah kaldera indah laksana surga disuguhkan bersamaan dengan naiknya sinar mentari pagi. Siapa yang bisa menolak pesona alam.
"Ini adalah satu-satunya gunung yang ada di pulau ini. Sejak buyut dari buyutku sampai dan memutuskan menetap di tempat ini, tidak pernah sama sekali terjadi letusan. Karena itu tidak pernah ada orang yang berhasil lepas dari samudra penghadang mortal. Mereka tidak bisa mendapatkan syarat terakhir."
Ungkapan Gyuri membuat mereka seketika pesimis. Tanpa dielakkan pun sudah bisa dilihat sendiri keadaan gunung yang ada di hadapan mereka tak lagi menunjukkan tanda-tanda keaktifan, bahkan mungkin bisa disebut gunung mati.
Soonyoung memandang ke arah Mingyu. Kata Gyuri 'buyut dari buyutnya', tentu itu adalah waktu yang sangat lama. Bukan hanya soal waktu lamanya sang gunung tak lagi aktif, tetapi juga waktu bagi mereka semua terjebak di tempat ini tanpa bisa menemukan jalan keluar.
"Pasti ada cara," tukas Joshua.
Gyuri menggeleng, "tidak ada. Jika kau datang ke pulau terakhir tanpa syarat yang lengkap sama saja kau bunuh diri."
Sebuah tindakan yang sia-sia kalau sampai mereka nekat datang, padahal selama ini mereka berusaha bertahan hidup.
"Ada apa di pulau ketujuh? Apa yang sebenarnya harus kami lakukan dan temui?" Pertanyaan beruntun dari Seungcheol agaknya telah mewakiliki kegusaran anggota lain.
Bahu gadis itu terangkat, "kalau kakekku berhasil dan bisa kembali kemari, pasti sudah kuceritakan pada kalian."
Dalam hati Soonyoung menyebut kalau kakek dari Gyuri berhasil tampaknya mereka tak akan pernah bertemu karena pastinya seluruh penduduk sudah diboyong keluar dari pulau.
"Kalian tidak memiliki pilihan lain," kata Gyuri lagi, "kalian bisa menetap di pulau ini dengan syarat berikan bunga hujan bintang itu padaku. Kalau pun kalian bersikeras hendak keluar dengan nekat datang ke pulau ke tujuh itu adalah tindakan yang sia-sia. Seperti kataku tadi, kalian menyerahkan diri untuk mati saat itu juga. Tidak buruk menetap di sini, kami sudah ada di tempat ini selama bertahun-tahun."
Beberapa anggota mulai terpengaruh bujukan Gyuri. Tidak salah untuk menetap, jika memang syarat terakhir itu tidak bisa ditemukan bagaimana bisa bebas dari belenggu yang sang samudra. Kalau nekat, nyawa yang menjadi taruhannya. Cukup selama berjuang sampai kemari saja raga dan jiwa mereka dibantai habis-habisan.
Sebagian lain menolak kerasa pendapat Gyuri. Mereka sudah sampai sejauh ini. Hanya tinggal satu langkah lagi. Walaupun tampaknya syarat yang dibutuhkan mustahil, mungkin mereka bisa berusaha. Entah dengan cara apa yang penting nantinya mereka bisa pulang. Bebas dari belenggu samudra penghadang mortal yang selama ini telah merenggut kebebasan.
Seungcheol menatap satu per satu wajah anggotanya.
Mereka semua lelah, putus asa, mentalnya terguncang.
"Kalian mau bagaimana?" tanya Seungcheol, ia membuka sesi diskusi terbuka.
"Mungkin kita bisa menetap saja?" Seungkwan yang pertama merespon, ia agak ragu takut pendapatnya langsung disanggah.
Dan benar saja Soonyoung langsung berkomentar, "tidak, kita harus pulang. Kau sudah berjanji pada kami Seungcheol."
Perkataan Soonyoung benar, Seungcheol memang punya janji yang harus ia tepati. Namun, ia juga tidak tahu cara untuk menepati janji itu.
"Kita harus pulang ke rumah," tambah Joshua.
"Menetap tidak buruk juga kok," balas Chan, berusaha menyeimbangkan pendapat yang ada.
Seungcheol bertukar pandang dengan Wonwoo, pria itu diam sembari mengamati hamparan luas di hadapan mereka. Jun juga diam berusaha mendengar suara alam yang berisik di telinganya.
Selepas itu barulah Seungcheol memberi keputusan.
"Kami akan menetap, akan kuberikan bunganya padamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
✔Even If The World Ends Tomorrow [SEVENTEEN] Selesai
Fanfiction"Bahkan jika seluruh dunia berakhir malam ini. Aku ingin kita memutar kembali waktunya sekarang!" Start: 29 Januari 2024 190224 #1 in "ekspedisi" 110724 #1 in "myungho" 240724 #1 in "air" 011124 #1 in "joshua"