***
"Sri, kadieu sakedap (Sri, kemarilah sebentar)."
Gadis berkulit gelap itu cepat-cepat melemparkan petikan pucuk-pucuk teh pada ambul yang digendongnya. Langkah-langkah kaki kecilnya, lincah menelusuri lajur hamparan kebun teh yang berjajar rapi. Topi capingnya tampak kebesaran, dia harus tetap harus memakainya.
"Iya, Bu." Sri baru menyahut ketika mendekati ibunya. Ambul, anyam bambu itu di punggungnya ikut bergoyang ketika langkahnya menuruni jalan yanng sedikit melandai.
"Coba ibu lihat hasil petikanmu," ucap Atik dengan logat Sundanya. Dia menarik ujung jarik di lehernya dan mengusap peluhnya yang mulai berkumpul di dahinya.
Gadis 14 tahun itu pun menurunkan keranjangnya. Diulurkannya segenggamnya hasil petikannya. "Ieu, Bu."
Atik mengambil petikan itu, dia memperhatikan dengan seksama. "Ieu téh alus (Ini bagus). Ingat, jangan terlalu pendek. Kamu harus selesaikan pekerjaan ini, sebelum jam 12 siang."
"Sumuhun, Bu." Sri harus ingat pesan ibunya.
Ketika masih tinggal di Desa Barangi, Sri suka membantu ibunya mencari kayu bakar atau memanen daun jati untuk dijual ke pasar petang. Hidup mereka begitu miskin, di bawah gerusan roda kemiskinan. Tiga minggu yang lalu, Sri dan Atik hanya tinggal di sekitar pasar dengan kondisi kelaparan. Suatu hari, Atik yang sudah hilang harapan melihat rombongan pribumi melawan karena dipaksa ikut kerja Rodi. Karena terdesak, Atik malah sukarela memutuskan untuk ikut tentara penjajah, begitu pula dengan Sri kemuning, anaknya. Akhirnya, mereka pindah ke Desa Walangsari di kaki gunung Salak dan bekerja di perkebunan luas milik seorang orang Netherlands atau yang biasa mereka sebut orang Walanda.
"Hayu, ulah lalaunan (Ayo, jangan lamban!) Kalian harus menyelesaikan ini sebelum matahari tepat di atas kepala kalian!" Suara mandor terdengar menggelegar. Pria berdarah pribumi itu menajamkan matanya, memperhatikan gerak-gerik Atik dan Sri. Dia mengacungkan tinggi-tinggi alat pemukulnya ke udara, sebagai tanda peringatan.
Sontak, Sri pun pontang-panting kembali ke tempatnya. Topi capingnya yang kebesaran, lagi-lagi membuatnya susah melihat dengan baik. Dia masih berusaha berjalan dengan baik, kaki telanjangnya menapaki kondisi jalan menanjak yang tidak mulus itu. Malang, kakinya malah tersandung akar tumbuhan teh yang tidak kasat. Sri terjatuh, kedua lututnya menghantam tanah. Ambul digendongannya ikut menimpanya dan pucuk-pucuk daun teh yang sedari pagi dipetiknya pun berceceran di tanah.
“Sri, hati-hati!” Sebagai seorang ibu, Atik spontan berteriak. Beberapa pemetik menoleh sekali ke arah Sri, lalu kembali bekerja seakan tidak perduli. Begitu pula dengan pemetik lebih dekat dengan posisi Sri, mereka juga tidak memperdulikannya. Atik menahan diri, dia tidak berani mendekati putrinya yang ceroboh itu.
Sri menelan ludahnya. Cepat-cepat dia meleles pucuk-pucuk teh di kakinya. Untungnya daun-daun yang ceceran itu menumpuk, jadi yang kotor hanyalah daun bagian bawahnya saja. Tiba-tiba, bola matanya menyadari... Sepasang sepatu bots hitam sudah berdiri di hadapannya. Sri mulai gemetaran, hampir tidak ada keberanian bertanya siapa pemilik sepatu itu... Jari-jari Sri tetap fokus memungguti pucuk-pucuk teh yang tidak boleh terbuang begitu saja.
"Hei, anjeun bodo! Teu tiasa dianggo?! (Hai Bodoh! Apa kamu tidak bisa bekerja?!) Bentakan itu menggema, memukul keras kepala Sri.
Jantung Sri berdegup. Dia tahu kesalahannya. "Hapunten, Ki," ucapnya pelan meminta maaf. Sri masih bersimpuh di bawah kaki Mandor dengan cambang tebal itu. Matanya masih menelisik sisa-sisa yang belum dipunggutnya.
"Dasar perempuan Goblok! Beraninya kamu mengotori pucuk-pucuk teh berharga itu! Seharusnya kamu mengerti.... Mengapa kalian harus memanggulnya!"
Sri cekang, ketika sepatu bots sang Mandor melantak pijakannya pada jemari kurusnya. Gaduh kesakitan itu, langsung memekakkan indra pendengaran sekitarnya. Suara Sri memekik kuat, sampai-sampai suaranya terdengar parau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...