Bab 33: Rencana Wulan

102 21 9
                                    

***

Atik menyeka dahinya, dipandanginya buah Kakao di tangannya, kondisi warna kulitnya sangat aneh. Hampir satu ambul semua buah punya belang warna kecokelatan. Atik mengambil alat pemukulnya, dia meremukkan buah Kakao itu, dan mengupas dagingnya. Dia meniliti isi buah Kakao itu tidak bagus, alias busuk.

"Jigana ieu busuk sadaya (Sepertinya ini busuk semua)." Atik memeriksa lebih detil isi buah yang tidak lagi berwarna putih, ketika mengendusnya baunya pun cukup menyengat. "Heueuh, Mandor harus tahu ini."

"Malire eta (Biarkan saja), toh ini punya penjajah Walanda," celetuk salah seorang pekerja.

"Iya, kita tahunya kerja saja, tidak usah terlalu teliti seperti itu."

Beberapa pekerja melontarkan ketidaksukaannya, atas sikap Atik.

Atik menurunkan tangannya. "Kalau tidak lapor dan biji-biji ini ke pabrik, urang oge bakal dina masalah badag deui (kita juga akan mendapat masalah besar lagi)," sahut Atik. Dia berdiri dan merapikan jariknya yang sedikit terangkat.

"Sudahlah, Tik! Dasar cari tukang muka."

Atik menoleh ke arah Sopiah. Perempuan yang masih saja jadi simpanan dengan mandor ompong itu, sudah tidak akur dengannya. Atik tidak menyahut apapun, dia tetap akan menunjukkan isi buah Kakao itu kepada Mandor, setidaknya dia melakukan hal yang baik kali ini.

"Kang Mandor..." Atik setengah bungkuk mendekati empat orang mandor yang sedang duduk-duduk di bawah pohon kelapa.

"Hm?"

Keempat mandor itu sibuk main kartu gapleh atau Ceki, mereka tidak mengalihkan perhatiannya ke arah Atik. Memang mandor-mandor di perkebunan pohon Kakao ini lebih santai dibandingkan mandor-mandor di perkebunan lain. Mereka akan pura-pura memeriksa para pekerja jika ada Ki Sedan atau suruhannya datang, atau mulai sibuk ketika sirine berbunyi.

"... Kang, parios heula buah Kakao ieu (Akang lihat dulu buah Kakao ini), isinya busuk semua. Akang yakin tetap mau kami mengupasnya?"

Satu mandor yang duduk di dekat Atik hanya menoleh sebentar. "Sudah kupas saja semua. Nanti akan datang lagi 2 kereta yang membawa Kakao," ucapnya sambil melempar kartu cekinya.

"Tapi, ini busuk, Kang. Ini sangat bau..." Atik masih mengulurkan buah Kakao yang busuk itu.

"Hei, tong ngaganggu kami! (Jangan ganggu kami!) Kamu kalau kerja, jangan banyak bicara, Nini peyot!" Salah satu mandor merasa terganggu dengan kehadiran Atik.

"Sudah, kamu kerjakan saja... " Mandor di di dekat Atik pun mengibaskan tangannya.

Atik mencebik bibirnya, lalu memundurkan kakinya. Apa boleh buat... Dia pun melangkah kecewa kembali ke tempat kerjanya.

"Tidak berhasil cari muka, Tik?" Sopiah tertawa.

Atik menaikkan bahunya. "Hei, Pak Mandor! Kalau ada apa-apa, Abdi henteu hoyong diteunggeul atanapi dihukum! (aku tidak sudi dipukuli atau dihukum!)" Atik melempar isi buah Kakao itu ke dalam bakulnya.

Mandor-mandor itu terlihat tidak memperdulikan seruan Atik, mereka malah mengejek salah satu mandor yang kalah dalam permainan judi kecil mereka.

"Ah, Atik, Geus teu kudu digawé deui... Anak anjeun can jadi penari Cadeau? (kamu ini seharusnya tidak usah bekerja lagi.... Bukankah anakmu sudah menjadi penari Cadeau?)" Sopiah lagi-lagi berbicara.

Atik tidak terkejut lagi, jika Sopiah mengetahui kabar tentang Sri. Tapi Atik memutuskan untuk mengabaikan saja dan melanjutkan pekerjaannya membuka isi buah Kakao.

"... Oh, penari Cadaeu? Aku tidak pernah lihat ada anak baru yang menari." Satu pekerja pria ikut menanggapi, dia meringis ketika buah Kakao yang dibukanya berbau busuk.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang