***
"Naon? Mau pergi kemana kamu?"
"Mau ke barak, Kang?"
"Lha? tidur? Ini masih sore, Di."
Edi tersenyum, anak buah Ki Sedan itu masih menahannya untuk pergi. "Iya, kang besok mau memeriksa sisa dokumen milik Meneer Henri."
"Ah, sudah. Naon pariksa deui? (apa yang harus diperiksa lagi?) Toh, semua sudah di dalam kekuasaan kita," ucap pria itu disambung sahutan setuju dari beberapa kawan-kawan. "Duduklah dan minumlah bersama kami."
Edi menarik sarungnya sembari menyelimuti punggungnya. Di sulutnya ke arah perapian, sebuah batang bambu yang berisi kain bekas yang direndam minyak jarak.
"Saya turun saja ke barak, Kang ... sudah mengantuk."
"Ah, ya sudahlah, pergi sana!"
Akhirnya pria itu kembali fokus ke arah meja dan permainan kartu gaple, mereka sedang asik judi. Tidak lupa, air nira sebagai tenggakan dahaga. Tugas mereka hanya berjaga-jaga agar Tuan Walanda pemilik perkebunan ini tidak melarikan diri.
Edi menaikkan obornya setinggi bahu, segera beranjak ke arah gerbang luar. Menurutnya, rumah Meneer Henri terlalu besar ... untuk keluar area halamannya saja, dia harus membuang waktu selama dua puluh menit dengan berjalan kaki.
"Ck."
Edi sedikit merintih, manakala kakinya telanjangnya mulai merasa kesakitan. Permukaan jalanan itu ditutupi dengan batu-batu sungai yang cukup kasar. Pucuk-pucuk pohon-pohon beringin besar bergoyang semampai, karena tertiup angin dingin. Ketika Edi melewatinya, naiklah bulu kuduknya … apalagi sulur-sulur halus itu menjuntai hingga menyentuh tanah. Hutan yang menjadi latarnya juga sangat gelap.
"Ah, enya. Naha sieun kitu ... (kenapa seram sekali ….)"
Akhirnya, Edi mengalihkan matanya ke arah bumi. Pendar merah dari obornya mengiringi kakinya yang lebih hati-hati meniti bebatuan yang terhampar … sedang bayangannya pekat mengikuti pergerakannya.
Niat Edi sebenarnya bukan untuk pulang ke barak. Dia turun, karena mengkhawatirkan Sri. Nama Sri yang juga tersangkut atas masalah kudeta ini. Beberapa hari ini, dia mendengar rencana-rencana dari Ki Sedan. Rupanya pria bengis itu memang sudah lama memiliki niat untuk menguasai daerah perkebunan dan menggulingkan Meneer Henri. Dia lebih terkejut lagi ketika tentara-tentara Walanda itu keluar dari kawasan ini. Kabarnya, biang kudeta ini ditenggarai oleh seorang perempuan yang patah hati karena Meneer Henri lebih memilih Sri.
Ya, rencana itu telah tersusun ... Mereka akan membantai seluruh penghuni rumah bedeng itu menjelang tengah malam.
Walaupun Edi kecewa dengan Sri, yang menjadi Penari Cadeau ... tapi dia tidak ingin ada hal buruk yang menimpa perempuan polos itu.
"Bagaimana pun aku bisa berdiam saja, setelah mengetahui rencana jahat itu …." Edi berdengus. Tidak pernah ada di bayangannya, dia akan terseret masalah yang melibatkan hilangnya nyawa manusia.
Srukk
Sekoyong-koyong, Edi tegang dan punggungnya tersentak. Telinganya mulai awas. Suara gemerisik itu cukup terdengar dari sisi gelap pepohon-pohon beringin di sekitarnya. Seperti ada sesuatu yang melintasi kegelapan hutan itu. Buah tenggorokannya mulai bergerak, dia meneguk cepat air ludahnya, dengan terpaksa manik matanya lurus ke arah suara itu berasal. Sayangnya pengelihatannya tidak bisa menembus apa pun untuk memastikannya.
Edi menggelugut, berusaha tidak memperdulikan perasaan ganjil itu. Kakinya tidak bisa melangkah lebih cepat lagi, tetapi jika dia lari … obornya jelas akan padam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...