***
"Apakah benar kamu akan berhenti, Nini Tua?"
Atik terkejut ketika pemimpin mandor itu tiba-tiba mendatanginya.
"Hehehe, Iya, Ki. Dinten ieu dinten terakhir abdi damel (Hari ini adalah hari terakhir aku bekerja)." Atik berusaha untuk menjawab dengan suara tenang.
"Oh, aku tidak menerima laporan. Bahkan aku tidak merasa menandatangani apa pun.
"Ki Sedan memandangi Atik dengan tatapan curiga. "Anjeun teu tiasa nyogok jalma (Tidak mungkin kamu menyogok orang)!"
Atik tidak langsung menyahuti. Jari-jarinya fokus mencabut rumput-rumput liar yang tumbuh di bawah pohon tembakau. Pekerjaan hari ini harus diselesaikannya dengan hati-hati, agar tidak ada masalah. Tampaknya, Ki Sedan tidak senang dengan kabar dia akan keluar.
"Tapi, Kuring teu salah, Ki. Abdi resmi kaluar (aku tidak melakukan kesalahan, Ki. Aku resmi keluar."
"Semuanya tampak mudah untukmu. Kamu datang kemari, bekerja beberapa bulan dan keluar begitu saja?" Ki Sedan melipat tumpukan daun sirih dan pinangnya. "Oh, aku hampir lupa, bukankah putrimu juga bergabung menjadi Penari Cadeau? Sungguh baik nasibmu, Nini tua."
Sebenarnya Atik ingin mendongakkan kepala, untuk menyombongkan dirinya… Tapi Ki Sedan pasti menyulut sumbu masalah untuknya, bisa-bisa dia dipukuli lagi dengan alasan yang tidak jelas.
"Sri mawa rejeki ka kuring, Ki (Sri membawa rejeki untukku, Ki." Atik memilih untuk merendahkan intonasi suarannya.
"Henteu… Ieu sanés kusabab anak anjeun (Bukan… Ini bukan karena anakmu). Aku tahu, kalau kamu adalah Nini tua yang sangat cerdas. Ambisimu begitu tinggi karena tekanan kemiskinan." Ki Sedan mencebik bibirnya.
"Aku rasa putrimu yang berotak dungu itu, tidak serta-merta menyerahkan dirinya untuk menjadi penari Cadeau."
Nada bicara pemimpin mandor itu seperti mencibir untuk memancing kebenaran. Atik menonggakkan kesabarannya, dia terpaksa untuk tersenyum tanpa harus terpancing emosi. Direndahkan lagi letak topi campingnya. Dia memilih untuk tidak menanggapi Ki Sedan..
"Janten iraha putri anjeun bakal naék panggung? (Jadi kapan putrimu naik manggung?) Tiba-tiba saja, aku tertarik."
Ki Sedan mulai menyisirkan lipatan daun sirihnya ke sela-sela giginya. Beberapa mandor di sekitarnya berputar untuk mengawasi pekerja lainnya di lahan perkebunan Tembakau.
"Aku tidak tahu… Teu Nyaho…"
"Ulah bohong…" Ki Sedan mendekatkan lagi letak kakinya lagi. "Beberapa kali aku datang untuk melihat pertunjukan penari Cadeau, tetapi aku kesal… Karena penari-penari itu tidak pernah mengalungkan selendangnya kepadaku."
Atik memandangi sepatu bots milik Ki Sedan. "Apakah… Ki Sedan membayar saweran? Maksudku memasukkan Gulden ke dalam kotak milik Indung Ali?"
"Ya, tentu saja. Aku datang dan memberikan banyak Gulden di sana," jawab Ki Sedan. "Tapi kuring masih teu ngagaduhan selendang maranehanana (Tetapi aku tetap saja tidak mendapatkan selendang mereka)."
Atik sudah sering mendengar keluhan seperti itu. Tapi jumlah penari itu hanya tujuh orang, tidak mungkin mereka melayani beratus-ratus pria dalam semalam. Lagi pula katanya, ada hal magis yang mengarah selendang itu. Ah, Atik sebenarnya tidak mengerti.
"… Kabarnya banyak yang kecewa, Ki."
Ki Sedan meludahkan cairan kunyahan sirihnya, lalu dia sedikit merendahkan tubuhnya. "Apa kamu tinggal di rumah Cadeau itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...