Bab 54: Tegang

155 23 8
                                    

***

"Hayu urang tari."

Ujar perempuan itu seraya melemparkan ujung sampur jingganya.

Ujung kakinya menekuk. Luwes mengayunkan pinggulnya yang seksi. Gerakan jarinya melingkar, seakan-akan membentuk geometris yang rumit. Kedua lengannya pun terangkat tinggi, lincah memamerkan pundaknya yang berayum.

"Hayu urang tari."

Senyum sang perempuan cermerlang, ia menari-nari tanpa dijamah lelah. Di bawah temaram yang sempurna, pelita dari obor pun turut berjoget bersamanya. Bayangannya jatuh
... tersamar merah.

Irama Gendhing turut bertalu-talu, berjiba, tak mau kalah dengan liukan kemolekan tubuhnya.

Bulir keringatnya menggelinding, cemerlang bak intan, luluh menyebarkan wangi Cendana yang kian menyegarkan.

"Hayu urang tari, Meneer Henri."

Henri mengerjap.

Bola matanya bergulir-gulir berat dalam pelupuknya.

Sinar yang menyilaukan itu menembus sela-sela kelambu yang masih tertutup. Peralihan dari dunia mimpi ke alam nyata masih berlangsung, sementara kesadaran Henri masih belum sempurna meraih realitas sekitarnya.

Tangan kanannya meraba-rasa sisi kasur, Henri menyadari Sri sudah tidak ada di sampingnya.

"Sri?"

Sontak mata biru itu terkepak lebar!

"Sial! A— pa aku kesiangan?"

Henri langsung meloncat dari ranjang besi itu. Dia tidak hati-hati, kakinya tersandung selimut yang menjulur ke lantai. Matanya sigap memandangi jam yang tidak jauh dari pintunya.

"Aku kesiangan!"

Dia buru-buru mendekati meja kerjanya. Wajahnya pucat …. karena amplop-amplop yang dikerjakannya semalam tidak ada di sana.

"Verdorie! (Sialan!)"

Henri kalut. Tanpa sengaja tangannya menyenggol botol kaca yang berisi tinta hitam ….

Prangggg!

Botol itu terguling dan pecah berkeping-keping ketika terhenpas ke lantai. Cairan hitam itu berceceran, dan sebagian lagi meninggalkan noda percikan pada dinding dan tirai. Henri tidak tampak tak perduli dengan kekacauan yang dilakukannya. Dia tergesa-gesa mengambil tas kulitnya, dan menumpahkan semua isinya.

Henri menyadari amplop-amplop itu memang tidak ada!

"Wie durft mijn enveloppen aan te nemen!" (Siapa yang berani mengambil amplop-amplopku!)"

Henri sangat marah! Dihempaskan tas yang dipegangnya kuat-kuat ke lantai. Pikirannya mulai teraduk-aduk amarah dan kebingungan!

Henri mulai menebak-nebak, kemungkinan ada petugas hotel masuk dan membuangnya!

Lalu kemana Sri? Apakah dia kabur? Kabur membawa amplop-amplopnya? Atau Sri sudah membawa barang lain di kamarnya?

Henri lemas, satu-satunya yang bisa dia salahkan hanyalah dirinya sendiri … mengapa semalam birahinya tersulut! Tidak biasanya, dia menginginkan tubuh Sri! Yang aneh, mimpi tentang perempuan penari itu— atau Dewi Kamboja hadir kembali di dalam mimpinya!

"Meneer Henri?"

Henri tegang. Dia menelan ludahnya di tengah paniknya, kalimat makian hampir saja dia muntahkan lagi. Mata biru itu terpana, memandangi kedua kaki yang berdiri di dekat tas kulit yang dilemparkannya tadi. Tetesan air sudah membasahi lantai … Sri berdiri ketakutan di depan pintu. Rambut dan seluruh tubuhnya basah, dia memakai kain batik yang dililitkan untuk menutupi ketelanjangannya.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang