Bab 43: Duri

98 22 12
                                    

***

Wulan senang.

Pria berambut pirang itu tampak terburu-buru menaiki tangga. Tangan yang merengkuhnya dalam gendongan begitu lekat, seakan-akan pria menawan ini tidak mau kehilangan.

Wulan membenamkan wajahnya, mengendus aroma tembakau yang pekat di permukaan pakaiannya.

Pintu kamar putih itu tidak terlalu rapat. Henri hanya mendorongnya dengan menggunakan punggung. Tanpa basa-basi, dia segera mendekap perempuan cantik itu di belakang pintu.

"… Ehm… kenala terlihat tidak sabaran." Wulan tertawa manja sambil menikmati kecupan panas di pangkal lehernya. "Aku siap melayanimu, Meneer Henri— "

Henri diam. Gelora memang membara di dadanya. Tetapi itu bukanlah—  birahi yang menarik aral syahwatnya.

Pikirannya jauh dari itu. Dia terus mengaduk-aduk apa yang ada di kepalanya. Terus bertanya-tanya— dengan segala cara dilakukannya, demi mengembalikan Wulan Asih kembali ke sisinya.

Mungkin pemahamannya terlalu dangkal dan naif—  sedangkan manusia tidak akan pernah bisa membaca isi hati manusia lainnya.

"Aku sangat mencintaimu, Wulan."

"Aku tahu, Meneer Henri." Wulan berbisik di telinga Henri. "Aku milikmu."

Henri mengangkat wajahnya. Dipandanginya detil-detil kecantikan sempurna itu.

Mata hitam itu pun menyimpan banyak mister—  Entah apakah Colin juga melihat mata gemintang ini ketika berdekatan dengannya?

Henri sangat menyukai bibir merah delima milik Wulan, rasanya ranum dan lembut ketika dia mengecupnya, entah apakah Colin juga merasakan manisnya kehangatan bibir itu?

"Ahhh!"

Wulan terperangah, ketika tangan Pria itu mencengkram gelungan rambutnya kuat-kuat.

"Lihat aku!'

Suara berat itu memberikan komando, agar dia tidak mengalihkan pandangannya.

Emosi itu mengancuknya lebih kuat—  dia memaksakan senggama itu tak beradab—  lebih tepatnya—  Wulan merasakan … Kemarahan!

"Meener!"

Wulan tidak bisa memikirkan entah apa yang terjadi. Kekasihnya jelas tak ingin bercinta dengan romantis. Namun, Wulan tidak sanggup, Meneer Henri memforsirnya dengan luapan emosi kemarahan. Tapi senggama yang dipaksakan itu, berakhir dengan rasa yang luar biasa.

Wulan terengah-engah. "A… Ada apa? Meneer Henri kasar sekali..."

"Apa aku terlalu kasar?" Henri menarik rambut Wulan.

"Tolong… Jangan begini!" Wulan terpaksa mendongakkan wajahnya lagi, karena Henri menariknya lebih kuat.

Henri mengecup telinga perempuan yang sudah tidak berdaya itu.

"Wulan … Aku sudah tahu," bisik Henri menyela lirihan Wulan. "… Bekas-bekas gigitan itu sangat jelas di leher."

Wulan kejat dan menelan air ludahnya cepat-cepat.

"Be… Bekas gigitan?"

"Apakah kamu berselingkuh, Wulan?"

Wulan seakan tersedak napasnya sendiri. Peluhnya masih meleleh. Sisa kegiatan panas mereka baru saja usai beberapa menit yang lalu. Dia pun harus mengugut, terpaku atas kebenaran yang terungkap.

Tapi…

"Meneer Henri… Bicara apa? Bekas gigitan apa?" Wulan mengendalikan kepanikannya.

Henri tertawa. Dialah yang harus menyadarkan dirinya sendiri. Selama ini cinta membuatnya buta. Tabir kejelekan Wulan tidak berarti, baginya perempuan ini selalu baik di matanya.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang