Bab 72

92 24 12
                                    

"Lepaskan aku!" Henri benar-benar marah.

Wulan tertawa. Dia benar-benar terhibur menyaksikan Henri begitu emosional ketika dipisahkan dengan Sri. Wulan menyempitkan kelopak matanya, pandanginya perempuan tidak berdaya di bawah kakinya.

"Pelacur kecil! Tanpa Raja Walanda kamu itu bukan apa-apa! Kamu hanyalah perempuan lemah!" Wulan menaikkan ujung badiknya ke dagu Sri.

Sri menyengap. Manik hitamnya mengerling, kubangan air mata itu mengelinding turun dari ujung matanya, meninggalkan jejak kesedihannya. Dia tidak berani bergerak … ujung badik tajam itu seakan-akan mulai mengiris lehernya.

"Oh, sayang, Kamu terlihat sangat menyedihkan," bisik Wulan seraya merendahkan wajahnya.

Sri membeku. Pada akhirnya dia memilih mengalihkan wajahnya. dia tentu saja tidak sanggup membalas tatapan penuh kemarahan Wulan.

"Kenapa kamu tidak berani melihatku?"

Sri diam, apa pun yang dia rasakan atau yang ada di dalam kepalanya benar-benar bercampur aduk. Sri mulai melayang dan tenggelam di sebuah labirin. Kepalanya sangat sakit … dia tidak bisa berpikir.

"Lihat aku!"

Dengan kasar, Wulan menarik rambut Sri kuat-kuat, sampai lehernya benar-benar terangkat. Urat-urat di punggung tangannya benar-benar mencengkram kuat. Begitu bencinya hatinya dengan Sri. Wulan bukan hanya lapar akan dendamnya. Kemarahan itu sudah tumbuh subur di setiap pori-pori tubuhnya. Tetapi, sinar wajah cerah, dia puas seakan-akan dendamnya hampir terbayar tunai.

"Lihat aku, Sri Kemuning!"

Sri meneguk air ludahnya, tenggorokannya begitu cekak … tetapi kerasnya genggaman tangan Wulan yang menyakitkan, memaksanya harus menurutinya. Sri pun berusaha meluruskan tatapannya ke arah perempuan cantik yang berbau bunga cempaka itu. Tatapannya tidak berisi … kosong dan tersaung ketakutan ….

"Sri yang penurut." Wulan tertawa senang. Dieratkannya gagang badiknya, lalu diangkatnya. Pecutan nafsu itu meninggi, lalu itu menariknya secara tahkik. Kendali itu bagai rajutan yang dijalin oleh hasutan sang Iblis kemarahan. Celah akal sehatnya pun tertutup. Wulan lantang … pukulan keras gagang badik itu langsung mendarat keras di pelipis Sri.

Suara kesakitan itu langsung pecah … gaungnya seakan terbang menguap ke langit gelap. Sri mengerih. Rasa luar biasa itu memiuh atas siksaan Wulan. Rasanya teriakan itu pun tidak akan sanggup melukiskan penderitaannya. Sri mulai terlunta, kesadarannya hampir redup.

"Jadi, kamu benar-benar mau membunuhnya?" Ki Sedan tertawa dingin. "Apakah kamu benar-benar bernyali?"

Wulan mengabaikan pertanyaan Ki Sedan, dia tetap menahan rambut Sri agar perempuan lemah itu tetap menegakkan kepalanya. Biru bersuam kemerahan-merahan nyata tercetak di keningnya. Ada benjolan sebesar telur.

"Tegakkan kepalamu pelacur kecil!"

"Sa… Sakit… Nyi…" Sri menggigil dan bibirnya sampai bergetar.

"Jangan Khawatir. Mayatmu akan dikuburkan bersama penari-penari Cadeua lainnya…" Wulan menaikkan lagi badiknya. "Aku lupa … Juga dengan mayat ibumu. Ibumu yang menjualmu!"

Sri benar-benar sudah pasrah dan putus asa. Tidak ada yang bisa dia lakukan, tenaganya pun sudah tidak ada untuk memberontak, bahkan beberapa kali dia merasakan napasnya hanya sampai di ujung penciumannya saja. Keputusan nyawanya benar-benar berada di tangan Wulan.

Wulan melebarkan senyumnya. Wulan mengangkat lagi badik milik Ki Sedan itu lebih tinggi, dia mulai menyusun kekuatan pada pergelangannya … dia berharap kepala Sri akan langsung terputus dengan sekali tebas.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang