Bab 32: Rubah

97 16 5
                                    

***

"Apakah Jeep yang menjemput Meneer sudah datang?

"Ya, aku harus pergi sekarang," jawab Henri memeriksa isi tas kulit yang akan dibawanya. Sedang babunya sigap memegangi topi Demangnya, pengurus rumah Henri itu berdiri tidak jauh dari meja kerjanya. Pria tinggi berpakaian putih-putih itu itu akan pergi selama beberapa hari ke Buitenzorg.

“Apa Meneer tidak ingin makan siang dulu?”

“Tidak usah, aku masih kenyang.”

Wulan menyandarkan bahunya pada pintu ruangan kerja Henri, "Aku akan merindukan, Meneer Henri."

Henri tersenyum, kilau mata birunya membalasnya dengan afeksi ungkapan kasih sayang itu. "Aku juga akan merindukanmu, Wulan. Aku akan segera kembali secepatnya mungkin." Henri mengambil topi yang diulurkan babunya.

Ujung bibir Wulan menunggik datar, memamerkan gigi putihnya yang berkilau. Disambutnya tangan pria berkulit pucat itu memulas mesra pinggangnya. "Hati-hati selama perjalanan, Meneer..."

"Aku akan segera kembali, mijn Mooie minnaar (kekasihku yang cantik)." Henri merendahkan wajahnya. Dikecupnya lembut bibir yang dipoles warna Delima. Perempuan dengan kebaya sutra hitam mengalungkan tangannya, membalas kecupan manis itu dengan malu-malu.

"Hm, malu dilihat orang," bisik Wulan. Ketika dia mengalihkan wajahnya, mata hitamnya melihat ke ujung meja kerja Henri... Ada pistol di sana.

Henri tertawa, dia enggan melepas rangkulannya. "Aku akan berangkat sekarang. Bagaimana kalau aku sekalian mengantarkanmu ke rumah bedeng?"

"Tidak, aku tidak ingin merepotkan. Aku akan pulang seperti biasanya saja." Wulan menepuk-nepuk lengan Henri, lalu merapikan kancing kerah jas Demangnya.

"Meneer Henri, Buiten staat de jeep te wachten (Jeep sudah menunggu di luar)."

"Iya, Colin." Henri segera memakai topinya.

"Sampaikan salamku kepada kapten di sana."

"Ya, sementara aku pergi. Aku titip manajemen dan urusan Desa ini kepadamu Colin." Henri mengandeng tangan Wulan, tanpa memperdulikan pelayan dan beberapa tentara yang berjejer di depan pintu.

"Maak je geen zorgen (Jangan khawatir)." Colin tersenyum, memandangi kemesraan Wulan dan Henri dari belakang.

Ketika pemilik perkebunan itu menuruni anak tangga teras, sopir pun bergegas membukakan pintu kendaraannya. "Meneer Henri, Goedemiddag (Selamat siang)," ucapnya seraya menempelkan jarinya pada ujung topi.

Henri mengangguk dan memandangi Jeep dengan bendera tiga warna itu. Akhirnya dia menghela napas, rasanya berat melepaskan gandengan tangannya pada jemari Wulan. "Aku harus pergi... Sampai jumpa, Wulan."

Wulan mengangguk pelan, mimik wajahnya sendu melepas kepergian kekasihnya. Tetapi, tidak ada yang perlu dia khawatirkan, pria ini pasti akan kembali.

Henri pun naik ke atas Jeep. "Aku akan kembali, Wulan."

"Aku akan menunggumu, Meneer..." Wulan menaikkan jarinya, memberian salam terakhir.

Mereka semua ikut melambaikan tangan, melepaskan kepergian tuan besar mereka. Tidak ada yang bergeming, sampai mobil militer itu menghilang dari peredaran.

Wulan menurunkan tangannya, memandangi sekitar rumah putih dengan atap Limas yang berada di perbukitan. Jauh di depan sana hamparan perkebunan dan kaki Gunung Salak tampak jelas menjelang tengah hari, dia belum pernah tinggal seharian di rumah Meneer Henri.

"Apa Nyi Wulan hendak pulang sekarang? Saya akan meminta kusir untuk menyiapkan Kuda..."

"Tidak, aku ingin makan siang di sini," jawab Wulan, ketika babu pengurus rumah Meneer Henri bertanya. Lagi pula karena sudah terlalu siang, Wulan enggan pulang... Dia tahu Ki Ali akan terus-terus memarahinya. ketika dia memutar tubuhnya... Meneer Colin ternyata berdiri di belakangnya.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang