Bab 69: Kematian

91 20 10
                                    

***

Kumpulan api-api melembai, namun Cahayanya buram menembus pandangan. Kemudian, ujung kesadarannya menapak—  sekilas— kenangan-kenangan itu kembali berputar layaknya rentetan kisah hidup.

Tubuhnya mulai terguncang hebat, kegelisahan demikian mencekam. Terbersit di pikirannya—  apakah fitrahnya nanti mendapatkan tempat yang teduh dan memperoleh ketenangannya? Ketika kematian menjelang, denyut-denyut akhir nadi itu adalah hal yang paling berharga.

Samar-samar, suara calung terdengar. Entah dari mana … yang pasti, kedua telinganya menangkap irama itu begitu jelas. Alunan legeto-nya sendu tanpa terputus. Iringan itu untuk walangsan tari untuk menyambut mahkota sang Raja pulang.

Sosok perempuan setengah menuduk, tiba-tiba muncul dari tengah pengelihatannya. Dia berdiri di antara cahaya merah dari api-api obor itu. Selendang Kuning berada di ujung jari-jari lentiknya. Walaupun wajahnya tidak terlihat jelas, tetapi suaranya tingginya yang mulai menjejalkan deretan rumpaka itu lebih menarik perhatiannya. Perempuan semampai itu melenggak-lenggokan pinggulnya, mengiringi suara merdunya yang mendayu.

"Raja téh imah, Raja téh imah (Raja pulang, sang raja pulang).
Ti wetan tilelep ka kulon (dari timur tenggelam di barat).
Geus waktuna papisah (ini Sudah waktunya berpisah),
aya kasedih (tiada duka),
Sabab raja geus datang ka imah (karena karena raja sudah pulang)."

Ali menghela napas panjang.

Alih-alih bisa melihat wajah penari itu, langkah penari itu bergerak semakin jauh dan menjauh hilang tenggelam di balik sinar merah. Pertunjukan magis yang dipersembahkan untuk sang Dewi Kamboja, memang selayaknya ditutup dengan walangsan Raja Pulang.

Ali bersyukur, ternyata seperti itu pula caranya untuk dijemput naik ke langit.

***

Atik mengigil. Punggungnya yang menempel pada dinding kayu rumah itu, seolah-olah ingin melebur dengan ketakutannya. Kedua tangannya merangkup erat jarik yang memuat berbagai barang berharga miliknya.

Beberapa bulan lalu—  tidak ada yang terlintas apa pun ketika melihat truk hitam berbendera tiga warna itu. Orang terbuang seperti dirinya hanya bisa mengais sisa kebaikan dari jalanan. Tetapi saat itu Atik sudah kehilangan kekuatannya, dia sungguh tidak sanggup menegakkan kemampuannya berjuang di bawah kemiskinan. Apalagi Sri Kemuning menjelang remaja, dia tidak mungkin terus-terusan membiarkan sang putri tinggal dan tidur di pinggiran kedai atau teras balai desa.

Tidak terbersit apa pun, ketika tentara-tentara berkulit pucat itu menodongkan senjata kepada orang-orang di pasar. Mereka dipaksa untuk berbaris dan bersimpuh. Mimik wajah mereka pun begitu ketakutan.

"Naon? Ada apa, Kang?" Atik menepuk seorang pria yang bersembunyi di bawah gerobak ubi kayu.

"Shhh! Diam atuh, Ni!"

"Lah, memangnya ada apa?"

"Itu orang-orang Walanda itu … maksa ... membawa orang-orang untuk kerja rodi! Budak!" Pria berbaju cokelat itu menjelaskan sambil mengintip.

"Budak?"

"Iya … untuk kerja rodi di perkebunan, Ni."

"Kerja rodi? Jadi kita diberi pekerjaan?"

Pria itu malah melotot ke arah Atik yang malah berwajah cerah. "Pekerjaan? Apa kamu tidak tahu soal perbudakan?"

Atik berpikir sejenak, lalu menggeleng. "Tidak tahu, Kang."

"Hei!!!"

Suara bentakan terdengar keras! Entah apa yang terjadi. Sontak pria itu dan Atik menunduk lebih rendah. Untung saja gerobak reyot itu cukup besar untuk menyembunyikan tubuh mereka.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang