***
Minumlah jamu ini."
Edi masih meringis, bangun-bangun dia tidak tahu di mana dia berada. kepalanya sangat sakit dan bagian wajahnya tiba-tiba sudah terbungkus kain. Edi terkesiap, bangkit dari atas dipan. Dia sampai berpikir … kalau dia berada di khayangan, karena ketika pertama membuka matanya— beberapa perempuan cantik sedang mengelilinginya.
"Di— di mana?" Edi tercenung, tangannya kaku memegangi mangkok batok kelapa.
Nyi Minah tersenyum. "Duduklah, kamu ada di rumah bedeng kami."
"Rumah bedeng?" Edi meringis lagi. Pelan-pelan, dia kembali duduk di dipan. Ingatannya hanya sampai — Atik melemparnya dengan batu!
"Ah ... Rumah bedeng? Bagaimana aku bisa di sini." Edi memandangi rumah tamu bersih itu, lalu tatapannya terhenti pada sebuah lukisan penari yang cukup besar di ruangan itu. Edi membesarkan matanya.
Rumah Penari Cadeau?
"Pemimpin kami yang menemukanmu," jawab Nyi Minah.
"Pemimpin?"
Kali ini Edi memberanikan diri untuk menatap perempuan yang duduk tidak jauh darinya. Perempuan itu sangat cantik dengan kebaya Encim bersih yang dikenakannya. Wajahnya ayu dengan mata bulat yang besar, rupa perempuan yang begitu menyenangkan untuk dipandangi.
"Minumlah jamumu," ucap Nyi Minah mengingatkan.
"Nu— nuhun." Edi menurut saja. Baru satu tegukan, tiba-tiba dia teringat Sri. "Ba— bagaimana dengan Sri?"
"Sri baik-baik saja. Justru akang lah yang cukup mengkhawatirkan." Nyi Minah tersenyum.
Edi menghela lega. Dia memandangi batok kelapa yang dipegangnya, jamu itu tidak pahit dan berwarna jingga. Kemudian, Edi melihat seseorang masuk dari pintu belakang.
"Apakah dia baik-baik saja?"
"Iya, Nyi Sinar. Dia sudah sadar," jawab Nyi Minah.
Edi hampir tersedak, kali ini ada perempuan lain lagi yang mendekatinya. Edi mendengar namanya Sinar. Dia terkagum-kagum, karena perempuan yang baru datang itu berkulit sangat putih! Kecantikannya memang layaknya sinar yang menerangi.
"Kamu baik-baik saja, Kang?" Sinar merendahkan tubuhnya, dia membawa potongan buah untuk Edi.
Edi berkedip, dia langsung memalingkan pandangannya. Dia malu sendiri, sampai tertegun menikmati kecantikan perempuan-perempuan yang merawatnya.
"Oh— maaf— kalau aku merepotkan."
"Tidak apa-apa. Kata Sri di barak tidak ada mantri. Jadi Ki Ali memutuskan membawamu kemari," jawab Nyi Sinar.
"Ki Ali? Abdi kedah ngahaturkeun nuhun ka anjeunna. (Ki Ali? Aku harus berterima kasih kepadanya.)"
"Habiskan jamumu, Kang. Nyi Jujun sedang membungkuskan parem untuk luka-lukamu."
Edi mengangguk. Dalam hatinya, dia tidak tahu pasti apakah benar perempuan-perempuan cantik ini adalah penari Cadeau?
"Apakah Sri akan bergabung dengan Penari Cadeau?"
Nyi Minah dan Nyi Sinar berpandangan. Mereka tidak menyangka Edi mengetahui perihal Sri yang akan bergabung dengan penari Cadeau.
"Kami tidak tahu."
***
Indung Ali melipat tangannya. Dia masih terheran-heran dengan keributan antara Sri dan Ibunya, Atik. Tapi dalam hal ini dia membela Sri.
"Jangan terlalu keras, Ni Atik."
"Ki Ali pasti tahu, Budak ieu teuing polos sareng bodo (anak ini terlalu polos dan bodoh). Kalau aku tidak keras, dia pasti gampang terpengaruh!" sahut Atik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...