****
Aroma tubuhnya begitu pekat. Walaupun netranya terpejam, indra penciumannya cukup mengenali candu yang ditawarkan. Suara lenguhannya lembut, dia menyambut senang tautan yang beradu.
Mata hitamnya benderang, memincingkan sorotan menggoda. Gelagatnya menyiarkan sinyal, kalau dia siap memadu kasih. Tubuh berkulit pucat itu bergerak perlahan... Memastikan dia tepat di sana. Lantas gairahnya memantik kian panas. Hasratnya dalam dan intens hingga berantara puncak tertinggi...
.
"... mau minum?"
Henri menawarkan gelas air putihnya.
"Hmh." Wulan menggelengkan kepalanya. Dia masih ingin terpejam, menikmati rasa sejuk yang mendinginkan kulit telanjangnya. Pagi ini mereka melakukannya lagi...
"Apa kamu mau ikut aku ke Buitenzorg?" Henri merapikan helaian rambut Wulan yang menutupi pipinya.
Wulan merapatkan manja tubuhnya di sisi Henri. "Tidak, sementara ini... Aku tidak bisa keluar dari Desa ini."
"Ya? Indungmu melarangmu?"
Wulan menopang kepalanya. "Apa Meneer lupa? Aku harus membantu pengantin penari Cadeau. Esok malam dia akan melakukan ritual terakhirnya."
Mata biru Henri bergulir, dia memandangi gelasnya yang kosong. Pikirannya mulai menebak-nebak… Sebuah kebetulan.
"... Pengantin Penari Cadeau?"
"Kalau dia berhasil melewati ritual terakhir. Aku akan menyerahkan selendangku kepadanya." Wulan memandangi kekasihnya dengan senang. "Setelah itu aku akan tinggal denganmu."
Henri meletakkan gelas di meja tidurnya. "Pengantin Penari Cadeau," gumam Henri.
"Apa Meneer lupa?" Wulan mendekap perut Henri erat-erat. "Namanya Sri... Sri kemuning... Dia berumur 14 tahun. Aku sudah pernah memberitahukanmu."
Henri bermimik datar. "Aku tidak mengingat nama dengan baik," pungkasnya.
Wulan tersenyum. "Jadi berapa lama Meneer Henri akan ke Buitenzorg?"
"Rencananya, aku akan kembali minggu depan. Ada sekretaris kerajaan Netherlands datang."
"Oh, tamu penting?" Wulan menyandarkan pipinya di atas paha Henri.
"Ya, dia tamu kehormatan. Dia akan datang kemari dan memeriksa beberapa lahan baru untuk varian kopi."
"Oh." Wulan menyahut pendek. Dia terpejam lagi, menikmati kehangatan kulit tubuh sang kekasih.
Henri diam. Dia mengusap-ngusap rambut Wulan. Dipandanginya lekat-lekat perempuan cantik itu, meneliti setiap detil wajahnya, hidungnya mengkilap bangir, kelopak yang terpejam itu terbingkai berbulu mata nan lentik. Henri memujanya. Tetapi... Henri memang tidak pernah mendengar Wulan menyanyi dan dia tidak pernah memintanya bernyanyi. Apa yang ada di kepala Henri hanyalah bayangan, Wulan bernyanyi, menari dan menyerahkan tubuhnya untuk Sang Raja Singolasi...
"Sri sudah bisa bernyanyi dengan baik. Dia berlatih dengan Nyi Popon. Walaupun keturunan Tionghoa, Nyi Popon sangat luar biasa menghapalkan beberapa buku syair kuno," cerita Wulan.
Henri tidak mengerti apa yang ceritakan Wulan. Tetapi... Pertemuannya dengan Sri cukup membuatnya terkesan. Ketika itu, dia tidak tahu bahwa Sri adalah pengganti Wulan. Nyanyian Sri sangat indah, dan itu adalah pertama kalinya dia mendengarkan nyanyian perempuan pribumi. Henri terhipnotis, dia seperti melihat sosok peri yang berada di tengah keindahan alam.... Dengan kulit eksotisnya, Sri sangat cantik...
Henri berdengus.
"Ada apa?"
"Apa?" Henri membesarkan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...